Senin, 22 Desember 2008

Dhritarastra


Dhritarastra (धृतराष) disebut juga Drestarastra, Drestarastra, Destarastra, Destarata. Ia anak sulung dari Vyasa melalui upacara putrotpadana. Kedua matanya buta karena pada waktu Vyasa menggunakan kekuatan batinnya untuk membuahi Ambika, perempuan itu memejamkan mata, melihat Vyasa yang menyala-nyala matanya.

Dhritarastra tidak memiliki pendirian yang teguh. Ia mudah sekali dipengaruhi oleh orang-orang terdekat. Ia terlalu penurut pada Dewi Gandari – isterinya, juga kepada adik Gandari – Arya Shakuni. Dalam pewayangan, Shakuni adalah tokoh licik dan senang mengadu domba demi keuntungan diri sendiri. Dari pernikahan dengan Dewi Gandari, Dhristarastra memiliki seratus anak yang disebut Kaurava atau Kurawa. Anak sulungnya bernama Duryodhana dan anak terakhirnya seorang perempuan bernama Dursilavati.

Sepeninggal Pandu, takhta Hastinapura dititipkan kepada Dhritarastra. Kendali pemerintahan dipegang olehnya dibantu Arya Shakuni. Sekian lama merasakan sebagai pemimpin Hastinapura, dalam hati Dhritarastra muncul keinginan untuk mewariskan takhta Hastinapura kepada anak-anaknya – bukan kepada Pandava. Keinginan itu gayung bersambut dengan pemikiran Arya Shakuni dan Dewi Gandari. Maka dicarilah jalan untuk melanggengkan kekuasaan, termasuk usaha membunuh Pandava. Meski berbagai usaha dilakukan, Pandava senantiasa dalam perlindungan para dewa. Semua niat jahat Dhritarastra dan Kaurava tidak sampai membinasakan Pandava.

Takhta Hastinapura diberikan kepada Duryodhana, anak sulung Dhritarastra. Wali negeri Hastinapura yang buta itu kemudian mengundurkan diri bersama dengan Yamawidura – adik beda ibu – dan Dewi Gandari. Selama Bharatayudha berlangsung, Dhritarastra dapat mengikuti seluruh jalannya peperangan dari penuturan Sanjaya. Sanjaya adalah anak Yamawidura yang menjadi kusir kereta Dhritarastra dan diberi kemampuan oleh dewa untuk melihat jalannya seluruh peperangan di padang Kurusetra, Bharatayudha.

Seusai Bharatayudha dan seluruh anaknya tewas, Dhritarastra tak kuasa menahan rasa dukanya yang mendalam. Karena putra kesayangannya - Duryodhana - tewas oleh Bhima, maka muncullah niat jahat Dhritarastra kepada Bhima. Meski buta, Dhritarastra memiliki kekuatan luar biasa. Jika ia memeluk seseorang dan mengeluarkan seluruh kekuatannya, maka remuklah orang tersebut. Begitupun ketika Pandava seusai Bharatayudha hendak menghadap kepadanya selaku sesepuh Hastinapura, Dhritarastra hendak memeluk Bhima. Niat jahat tersebut terbaca oleh Khrisna. Maka titisan Vishnu itu menarik Bhima dan menggantinya dengan patung yang menyerupai Bhima. Alhasil, Dhritarastra menghancurkan patung Bhima menjadi debu. Menyadari bahwa ia keliru, Dhritarastra akhirnya menyerahkan tampuk kekuasaan Hastinapura kepada Yudhistira dan memberkati seluruh Pandava. Dia bersama dengan Dewi Gandari, Kunti, Yamawidura, dan Sanjaya mengundurkan diri ke hutan untuk bertapa. Dhritarastra ingin menebus dosa-dosanya. Mereka berlima tinggal di dalam pondok di tengah hutan.

Pada musim kemarau yang panjang, api melalap hutan, termasuk pondok di tengah hutan dan isinya. Kelima sesepuh Hastinapura itu wafat. Dalam versi India, api tersebut bukan karena kemarau panjang, melainkan berasal dari tubuh Dhritarastra sendiri.

Pandu Devanata


Alkisah Bhisma Devabrata memenangkan sayembara di negara Kasi, mengalahkan dua raksasa Wahmuka dan Arimuka. Sebagai pemenang, Bhisma berhak memboyong tiga puteri: Dewi Amba, Ambika, dan Ambalika, untuk diperistri oleh raja Hastinapura – Vicitravirya.

Dewi Amba menolak karena dia merasa, bahwa Bhisma-lah yang berhak atas dirinya, bukan Citrasena. Namun karena Bhisma telah bersumpah untuk hidup selibat, maka keinginan Dewi Amba mustahil terpenuhi. Bhisma menggertak Dewi Amba dengan panah agar meninggalkannya. Namun tanpa disadari anak panah melesat dan menembus dada Dewi Amba. Sebelum perempuan itu menemui ajalnya, mengatakan supata, bahwa dia akan datang lagi menjemput Bhisma ketika terjadi Bharatayudha. Dewi Amba akan menitis dalam diri Srikandi atau Shikandi.

Sedangkan kedua puteri lainnya, Ambika dan Ambalika diperistri oleh Vicitravirya. Malang sebelum mereka memadu kasih, Citrasena wafat. Demi kelangsungan takhta Hastinapura, maka ibu suri – Setyawati – memohon kepada Vyasa agar memberi keturunan kepada Ambiki.

Vyasa semula adalah raja Hastinapura yang kemudian mengundurkan diri untuk bertapa. Vyasa yang seorang begawan bersedia memenuhi permintaan Setyawati, demi Hastinapura – bukan demi dirinya sendiri. Sebagai seorang pertapa, maka Vyasa tidak melakukan hubungan seksual. Vyasa menggunakan kekuatan batin untuk membuahi Ambiki.

Ambiki yang belum pernah mengalami malam pertama, merasa ngeri. Sehingga selama Vyasa menggunakan kekuatan batinnya, Ambiki memejamkan mata. Beberapa waktu kemudian Ambiki mengandung, namun bayi laki-laki yang dilahirkannya buta. Bayi itu diberi nama Dhritarastra.

Setyawati kurang puas dengan bayi tersebut. Maka kembali ia meminta agar Vyasa bersedia memberi keturunan – kali ini kepada Ambalika. Sama seperti Ambiki, Ambahini belum pernah mengalami malam pertama. Maka ketika bertemu dengan Vyasa, Ambahini menjadi pucat dan memalingkan muka. Ambahini mengandung dan melahirkan seorang bayi laki-laki. Bayi tersebut berwajah pucat dan kepalanya agak teleng. Karena berwajah pucat, bayi itu diberi nama Pandu (पाण्‍डु).

Meskipun Dhritarastra lebih tua, namun kepada Pandu-lah takhta Hastinapura diberikan. Kebutaan Dhritarastra itulah yang menjadi alasan mengapa ia tidak berhak atas Hastinapura.

Pandu – yang berwajah pucat – memiliki hampir semua keutamaan ksatria. Ia berjuang demi kebenaran. Pandu memiliki sifat arif dan bijaksana. Pandu Devanata menikahi Kunti dan Madri. Karena melakukan satu kesalahan, yaitu memanah rusa yang sedang berkasih-kasihan, Pandu dikutuk tidak akan memiliki anak. Rusa tersebut sebenarnya adalah penjelmaan seorang resi.

Agar kelangsungan keluarga Hastinapura terjamin, maka kemudian Kunti dan Madri memohon kepada dewa agar diberi keturunan. Dari rahim Kunti lahirlah Yudhistira, Bhima, dan Arjuna. Yudhistira adalah titisan Batara Dharma, Bhima titisan Batara Bayu, dan Arjuna titisa Batara Indra. Sedangkan dari rahim Madri lahirlah kembar Nakula dan Sadeva. Keduanya adalah titisan Batara Aswin. Kelima putra Pandu disebut Pandava.

Dalam versi Jawa, Pandu kemudian diadu domba oleh Shakuni - adik Dewi Gandari, istri Dhritarastra. Pandu bertempur melawan muridnya sendiri, raja raksasa dari Pringgadani - Prabu Tremboko. Tremboko tewas oleh panah Pandu, namun Pandu terluka oleh keris Kalanadah. Luka tersebut mengakibatkan kematiannya. Madri – sesuai dengan tradisi – ikut menceburkan diri ke dalam api yang menghanguskan jasad Pandu dalam upacara sati. Oleh para dewa kemudian Pandu dijadikan sebagai dewa pula.

Dalam versi India Pandu moksa, yakni lenyap dari dunia bersama seluruh raganya. Sedangkan jiwanya masuk ke dalam neraka sesuai perjanjian. Namun atas perjuangan Bhima, Pandu akhirnya jiwa Pandu masuk ke surga. Versi lainnya mengatakan, jiwa Pandu tetap berada di neraka asalkan seluruh anak-anaknya selamat.

Kunti, semestinya sebagai seorang istri, juga ikut membakar dirinya. Namun Kunti berpikir, bahwa harus ada yang mengasuh kelima putra Pandu. Maka ia tidak ikut membakar diri demi kelangsungan hidup keturunan Pandu.

Senin, 25 Agustus 2008

Baladewa


Baladewa atau Baladeva (बलदोव) disebut juga Balarama, Balabhadra, Halayudha, Wasi Jaladara, Begawan Kusuma Walikita, Begawan Curiganata, Kakrasana. Wujud Baladewa adalah kebalikan Krishna, adiknya. Baladewa berkulit pucat/putih, sifatnya mudah meledak-ledak, berangasan, namun mudah luluh pula hatinya. Raja Mathura ini mudah terpengaruh oleh Kurawa. Oleh karena itu, sebelum Bharatayudha ia dibujuk oleh Krishna agar bertapa di Grojogan Sewu hingga perang usai.
Baladewa adalah kakak kandung Krishna, berasal dari Vasudeva dan Devaki. Akan tetapi untuk mencegah berlakunya ramalan, bahwa ia akan dibunuh Kamsa (Kangsa), maka dengan kemampuan pemindahan janin Baladewa dipindah dari rahim Devaki ke dalam rahim Rohini. Karena peristiwa ini, maka Baladewa juga dikenal dengan nama Sankarsana yang artinya "pemindahan janin". Dalam ramalan dikatakan, bahwa Kamsa (kakak Devaki) akan terbunuh oleh anak kedelapan Devaki. Maka Devaki dipenjarakan oleh Kamsa. Ketika lahir keenam anak Devaki mati dibunuh oleh Kamsa. Untuk menyelamatkan Baladewa, maka terjadilah pemindahan janin tersebut. Baladewa dibesarkan oleh Rohini. Ia tumbuh bersama dengan Krishna sebagai penggembala ternak sapi. Kelak Krishna - anak kedelapan Devaki - akan membinasakan Kamsa, sesuai dengan ramalan.
Baladewa pernah menjadi guru bagi Bhima dan Duryodhana dalam menggunakan senjata gada. Kedua murid itu memiliki kelebihan dan kekurangan. Bhima memiliki kekuatan, sedangkan Duryodhana memiliki kelincahan dalam menggunakan gada. Duryodhana adalah murid kesayangan Baladewa. Namun dalam Bharatayudha Duryodhana berhasil dikalahkan oleh Bhima dengan memukul paha Duryodhana. Kematian Duryodhana membuat Baladewa marah dan ingin membunuh Bhima. Hasrat itu dapat dicegah oleh Krishna yang bijaksana.
Baladewa menikah dengan Rewati, anak Raiwata dari Anarta. Versi lain mengatakan ia menikahi Erawati, anak Salya dari Mandaraka. Dari pernikahan itu, Baladewa berputra dua yaitu Wisata dan Wimuka.
Baladewa memiliki senjata andalan berupa gada Alugara dan senjata Nanggala. Keduanya adalah pemberian Batara Brahma.
Kematian Baladewa dikisahkan dalam Bhagavatapurana. Ia wafat setelah perang yang menghancurkan wangsa Yadu dan setelah melihat Krishna moksha. Baladewa bermeditasi di bawah pohon seperti Krishna. Lantas dari mulut Baladewa keluar ular putih bernama Sesa, yang kemudian membawa jasad Baladewa ke nirvana.

Rabu, 20 Agustus 2008

Krishna


Titisan Vishnu yang datang ke dunia. Ia adalah avatar - Tuhan atau dewa yang turun ke dunia - ke-22 dari 24 avatar menurut kepercayaan Hindu. Krishna (कृष्ण) - di samping Pandawa - adalah tokoh yang menjadi titik pusat dalam epos Mahabharata. Krishna adalah pujaan bangsa India.
Sosoknya digambarkan berkulit gelap. Sifatnya ceria, bijaksana, cerdik, dan berbelas kasih. Namun demikian jika marah, maka Krishna dapat bertiwikrama menjadi raksasa sebesar gunung. Kemarahannya adalah untuk menghancurkan angkara murka di dunia dan jagad raya. Kisah yang menceritakan Krishna berubah menjadi raksasa adalah Lakon Kresna Duta.
Bernama Janmasthami ketika dilahirkan dan diberi nama Narayan atau Narayana ketika muda. Putra dari Vasudeva atau Basudewa, raja Mathura (Mandura). Ibunya bernama Devaki (Dewani). Berdasarkan Kitab Baghavata Purana, Krishna tidak dilahirkan dari hubungan seksual. Ia dilahirkan dalam rahim Devaki karena transfer/transmisi pikiran/jiwa Vasudeva.
Krishna adalah penegak kebenaran dan keadilan. Ia memiliki senjata pusaka bernama Cakra. Pusaka lainnya adalah bunga Wijaya Kusuma yang mampu menghidupkan kembali orang yang meninggal. Krishna juga mampu menggandakan dirinya menjadi ribuan.
Setelah dewasa, Krishna menjadi raja di Dvaraka (Dwarawati), saat ini letak Dvaraka kira-kira di Gujarat (India). Ia raja yang sangat dihormati oleh kawan dan lawan. Pihak Pandawa menjadikannya penasihat utama. Sedangkan Kurawa selalu berusaha menjauhkan Pandawa dari Krishna karena mereka tahu, bahwa hanya dengan bantuan Krishna Pandawa dapat unggul dalam Bharatayudha.
Krishna memiliki banyak nama alias, seperti: Mahāyogi, Purushottama, Varshneya, Vāsudeva, Vishnu, Yādava, Yogesvara, Achyuta, Arisudana, Bhagavān, Gopāla, Govinda, Hrishikesa, Janardana, Kesava, Kesinishūdana, Mādhava, Madhusūdana, Mahābāhu.
Krishna bagi umat Hindu memiliki kedudukan yang hampir mirip dengan Yesus pada umat Kristen. Krishna adalah juru selamat manusia (Janardana).
Kisah Krishna paling menarik dan banyak dikaji adalah dalam Bhagavad Gita - di mana ia terlibat percakapan fisik dan batin tingkat tinggi dengan Arjuna. Krishna-Arjuna pada dasarnya adalah satu jiwa dalam dua personifikasi.
Dalam Bharatayudha, Krishna menjadi sais atau kusir kereta perang Arjuna. Seusai Bharatayudha, musnahlah seluruh wangsa Wresni dan Yadawa. Maka Krishna memutuskan diri untuk moksha dengan perantaraan anak panah yang dilepaskan pemburu bernama Jara yang mengenai telapak kakinya.

Senin, 11 Agustus 2008

Nakula dan Sadewa



Nakula (नकुल) dan Sadewa (सहदेव) adalah anak Pandu dari Madri. Kedua putra Pandu ini kembar. Dalam versi Jawa, Nakula dan Sadewa selalu tampil mendampingi Yudhistira.
Nakula memiliki nama lain Tripala atau Pinten, sedangkan Sadewa dikenal pula dengan sebutan Sahadewa, Sahadeva, Darmaganti atau Tangsen. Nakula mempunyai istri Dewi Soka, Sadewa beristri Dewi Padapa. Dibanding dengan Sadewa, kisah Nakula tidak begitu banyak dituturkan dalam lakon wayang. Sedangkan lakon dengan tokoh Sadewa dapat dijumpai ketika Sadewa meruwat Batari Durga menjadi dewi cantik bernama Dewi Uma. Kisah ini diceritakan dalam Lakon Sudamala.
Bagi masyarakat Jawa, Nakula dan Sadewa menjadi simbol keseimbangan. Anak-anak yang dilahirkan kembar, diharap memiliki keutamaan hidup seperti Nakula dan Sadewa.
Dalam perjalanan terakhir menuju puncak Mahameru, Nakula tewas karena meminum air dari telaga larangan. Ketika itu Nakula bermaksud mencarikan air minum bagi Yudhistira yang kehausan. Sedangkan Sadewa tewas terjatuh ke jurang pada waktu akan mencapai puncak Mahameru.

Selasa, 05 Agustus 2008

Arjuna


Tak dapat disangkal, semua orang yang mencintai wayang atau yang mengenal Mahabharata tidak asing dengan sosok bernama Arjuna (अर्जुन). Memiliki nama panggilan yang banyak: Janaka, Premadi, Permadi, Dananjaya, Pandutanaya, Bharatasresta, Bharatasattama, Bharatasabha, Mintaraga, Parta, Palguna, Jishnu, Kiriti, Bharatasresta, Sawyasachi, Swetawahana, Wrehatnala, Gandiwi, Kauntiya, Kurusattama, Parantapa, Kuntiputra, Mahabahu, Purusarsaba, Wijaya, Wibatsu, Kapidwaja, dan Gudakesa.
Nama Arjuna sendiri berarti 'jernih', 'cemerlang', 'bersinar terang'. Arjuna dalam dunia Jawa sepadan dengan Krishna dalam dunia India. Jika dalam versi India yang terkenal sebagai lelananging jagad (the best male in the universe) adalah Krishna, di dalam versi Jawa adalah Arjuna. Dikenal memiliki banyak istri: Subadra (Sembadra), Shikandi (Srikandi), Larasati, Supraba, Dresanala, Sulastri, Ulupi, Purnamasidi, Gandakusuma, Manohara, Jimambang, Ratri, Wilutama, Antakawulan, Juwitaningrat, Maheswara, Retno Kasimpar, dan Dyah Sarimaya.
Arjuna memiliki senjata andalan berupa panah bernama Pasopati. Dalam versi Jawa, senjata Arjuna lebih banyak lagi seperti panah Sarotama, panah Sirsa, panah Sangkali, panah Candranila, panah Naracabala, panah Ardhadedali, keris Baruna, keris Pulanggeni, keris Kalanadah, dan sebagainya.
Arjuna adalah ksatria yang menjadi kepercayaan para dewa. Ia sering mendapat tugas dan anugerah dewa. Dia memiliki sifat sopan, cerdik, teliti, gemar mengembara mencari ilmu, dan pengasih. Kecerdikan Arjuna teruji dalam perjalanan menuju Mahameru, ketika ia disuruh memilih manakah yang akan dihidupkan kembali oleh dewa: Bhima atau Sadewa. Arjuna memilih Sadewa, bukan Bhima - saudara kandungnya - agar dihidupkan oleh dewa. Alasan Arjuna adalah demi keadilan, jika Sadewa yang dihidupkan, maka baik Kunti maupun Madri sama-sama kehilangan satu putera.
Putra bungsu Kunti ini selalu menang dalam setiap pertempuran. Lawan paling berat yang dihadapi adalah kakaknya sendiri - Karna. Dalam perang di Kurusetra, jika tanpa siasat Krishna barangkali pertandingan antara Arjuna dan Karna akan berlangsung seimbang karena keduanya sama-sama sakti, ahli memanah, sama-sama murid kesayangan Rsi Drona dan Rsi Bhisma. Sama seperti Bhima, Arjuna tidak diperkenankan mencapai puncak Mahameru dalam keadaan hidup. Kesalahan Arjuna adalah masih menyimpan rasa cinta kepada Banowati, istri Duryodana (Duryudana) - raja Hastinapura.

Jumat, 04 Juli 2008

Bhima


Bhima (भीम), memiliki nama lain Bima, Bimasena, Bratasena, Werkudara, Bayuputra, Bayusuta, Gundawastraatmaja, Jagalabilawa. Anak kedua Pandu dari rahim Kunthi ini bersifat blak-blakan. Dalam pewayangan Jawa, Bhima dikenal tidak dapat berbahasa halus/krama kepada siapapun. Ia berbahasa halus hanya kepada Dewa Ruci.
Bhima disebut Bayuputra karena ia adalah titisan Batara Bayu, dewa penguasa angin. Versi Jawa mengatakan ketika lahir Bhima terbungkus oleh gumpalan kulit dan berbentuk bola. Berbagai macam senjata tajam untuk membuka bungkus tidak mempan digunakan. Maka para dewa mengirimkan Gajah Sena untuk memecahkan bungkus tersebut dengan gadingnya.
Bhima dalam wayang Jawa bertempat tinggal di Jodhipati atau Munggul Pamenang. Sebagai anak Pandu yang berbadan paling besar dan memiliki kekuatan fisik luar biasa, Bhima menjadi andalan bagi Amarta dalam Bharatayudha.
Bhima memiliki kuku yang panjang, kuat, dan tajam disebut Pancanaka. Dengan Pancanaka pula ia merobek tubuh Shakuni membujur dari lubang dubur hingga rongga mulut di Kurusetra. Selain Pancanaka, Bhima menggunakan gada sebagai senjata yakni gada Rujakpala dan Lambitasari. Dengan gada Bhima membinasakan Dursasana, membawakan darah Dursasana kepada Drupadi untuk mengeramasi rambutnya.
Bhima memperistri Nagagini, Arimbi, dan Urangayu. Dari perkawinan tersebut Bhima memiliki anak Antareja, Gatutkaca, dan Antasena. Agak menarik karena ketiga anak Bhima ini seperti merepresentasikan angkatan perang; Antareja yang dapat masuk ke dalam air (angkatan laut), Gatutkaca yang dapat terbang (angkatan udara), dan Antasena yang dapat masuk ke dalam tanah (angkatan darat).
Dalam akhir hidupnya - perjalanan menuju Mahameru - Bhima tewas karena meminum air telaga larangan. Ia dinilai tidak layak mencapai puncak Mahameru karena Bhima terlalu membanggakan kekuatannya.

Yudhistira


Sulung dari Pandawa ini berdasarkan Mahabharata asli India bernama Yudhistira (युधिष्ठिर). Akan tetapi di Jawa, segera saja ia mendapat nama lain seperti: Puntadewa, Dwijakangka, Dharmakusuma, Gunatalikrama, Ajathasatru, dan Samiaji. Juga di Jawa pula Yudhistira kemudian diketahui memiliki pusaka bernama Jamus Kalimasada.
Menurut Mahabharata, Yudhistira adalah titisan Batara Dharma. Pada waktu Baratayudha berakhir dan Pandawa menuju nirwana, hanya Yudhistira-lah yang sampai ke puncak Mahameru ditemani seekor anjing. Anjing tersebut adalah jelmaan Batara Dharma. Dengan demikian, kelahirannya dan kematiannya senantiasa ditemani oleh Batara Dharma.
Yudhistira memiliki watak penyabar, selalu berusaha menjaga keutuhan, ia tidak membenci siapapun - musuh sekalipun.
Kelemahan Yudhistira ialah kegemarannya berjudi. Maka pada waktu ia kalah main dadu melawan Kurawa, negara Hastinapura dipertaruhkannya.
Dalam Baratayudha, Yudhistira adalah lawan bagi Prabu Shalya dari Mandaraka. Raja tua itu terikat kutukan Begawan Bagaspati. Ajian Candhabirawa yang dimilikinya sama sekali tidak mempan melawan kehadiran Yudhistira yang tanpa senjata. Majunya Yudhistira ke ajang perang pun bukannya tanpa masalah. Sulung Pandawa ini sebenarnya enggan untuk maju berperang melawan Prabu Shalya, yang tidak lain adalah pamannya sendiri. Prabu Shalya adalah kakak Dewi Madri, ibu dari Nakula dan Sadewa.
Yudhistira menikahi Draupadi (Drupadi), anak Draupada (Drupada) raja dari negeri Pancalaradya. Dari perkawinan mereka lahirlah Pancawala. Hanya saja Pancawala tidak sempat menggantikan Yudhistira menjadi raja Amarta karena tewas dibunuh Aswatama, anak Maharsi Drona (Durna).

Senin, 30 Juni 2008

Pandawa

Pandawa berarti lima. Lima laki-laki. Jika lima perempuan, Pandawi. Dalam pewayangan, Pandawa adalah kelima putra Pandu. Sehingga Pandawa disebut juga Panduputra. Kelima putra Pandu itu berasal dari dua ibu, Kunti dan Madri atau Madrim. Dari Kunti, Pandu menurunkan tiga putra yaitu Yudhistira, Bima, dan Arjuna. Sedangkan dari Madri, Pandu menurunkan dua putra kembar, Nakula dan Sadewa.
Pandawa adalah representasi dari sifat-sifat baik yang dimiliki oleh manusia. Yudhistira adalah simbol kejujuran, Bima adalah simbol kelugasan dan kesetiaan, Arjuna adalah simbol kejernihan berpikir, Nakula dan Sadewa dapat dikatakan simbol keseimbangan.
Meski Pandawa menjadi representasi keutamaan sifat manusia, mereka tidak luput dari kekurangan pula.
Hal ini mengingatkan kita pada simbol Yin-Yang dalam tradisi Asia Timur, khususnya Tao. Bahwa di dalam bagian yang berwarna putih pun terdapat lingkaran hitam.

Sabtu, 21 Juni 2008

Wayang Jawa

Ramayana dan Mahabharata yang berasal dari India memiliki pengaruh sangat luas di Asia Selatan dan Asia Tenggara. Namun demikian dalam perkembangannya, pengaruh lokal memberi warna pada kisah Ramayana dan Mahabharata. Sebagai contoh, di Jawa ada banyak lakon wayang yang tidak dapat ditemukan di India. Ini berarti orang Jawa mengembangkan sendiri cerita wayangnya.
Kalau anda menonton wayang di Jawa, pasti ada bagian yang disebut "gara-gara" yang biasanya ditampilkan tengah malam. Di dalam adegan "gara-gara" ini muncul tokoh Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong yang disebut Panakawan. Atau bisa juga muncul tokoh Limbuk dan Cangik. Tokoh-tokoh tersebut tidak akan dijumpai dalam versi asli dari India.
Kisah Gatotkaca Edan, Dewa Ruci, dan semacamnya tidak ada dalam versi asli. Semua lakon di luar sumber asli India, adalah karangan orang Jawa yang dikaitkan dengan dunia batin orang Jawa. Sebagai contoh lakon Dewa Ruci banyak dipengaruhi tasawuf Islam yang dikembangkan oleh walisanga. Tokoh Dewa Ruci adalah hasil ciptaan budaya Jawa.
Kisah Ramayana dan Mahabharata yang masuk di Jawa telah diperkaya dengan kearifan dunia batin orang Jawa. Maka pantaslah jika UNESCO menjadikan wayang sebagai warisan budaya dunia.

Minggu, 15 Juni 2008

Mahabharata

Mahabharat atau Mahabharata adalah epos terbesar dalam kesusastraan India. Bentuknya berupa kakawin dalam bahasa Sanskrit, terdiri dari 90.000 seloka dalam 220.000 baris. Epos ini terdiri dari 18 parwa atau buku, disebut Asthadaçaparwa. Sejak ±300 sM hingga ±300 M, syair Mahabharata terus ditambah dengan bahan-bahan yang sudah ada dalam bentuk purana, gatha, dan sebagainya. Kisah tambahan yang cukup penting adalah Harivamça dalam bentuk syair yang menjelaskan kehidupan dan silsilah Krishna.

Penulis Mahabharata adalah Krishna Dvaipayana atau Vyasa, yang oleh masyarakat Jawa dikenal sebagai Abiyasa. Pada zaman pemerintahan Jayabaya (1115 – 1130) di Kediri, epos Mahabharata disadur oleh Empu Sedah dan Empu Panuluh dalam bahasa Jawa Kuno. Kemudian oleh pujangga Yasadipura I (Yosodipuro I) dan Ranggawarsita (Ronggowarsito) disadur kembali dalam bahasa Jawa Baru dalam bentuk tembang.

Pokok dari epos ini adalah perang antara kebaikan yang direpresentasikan oleh Pandawa melawan kejahatan yang direpresentasikan oleh Kurawa. Pandawa adalah keturunan Pandu, sedangkan Kurawa adalah keturunan Kuru. Keduanya memiliki darah Bharata. Di antara keduanya terdapat Krishna yang berpihak pada Pandawa.

Di dalam Mahabharata terdapat bagian tambahan yang cukup penting, yakni Bhagavad Gita yang berarti Nyanyian Tuhan. Isinya adalah percakapan antara Krishna sebagai titisan Vishnu dengan Arjuna sebagai ksatria sebelum maju ke Bharatayudha.

Mahabharata juga memuat hal-hal berkaitan dengan tatanegara, nasihat, legenda, mitos, pengetahuan alam, moksa, dan adat kebiasaan India Kuno.

Ramayana

Ramayan atau Ramayana adalah bahasa Sanskrit yang berarti Kisah Rama. Ramayana berasal dari India, ditulis oleh seorang pertapa bernama Valmiki. Ramayana terdiri atas 7 kandha atau 7 buku yang memuat 24.000 seloka atau kuplet. Ketujuh kandha tersebut mengisahkan:

1. Masa muda Rama.

2. Kejadian-kejadian di Ayodhya.

3. Rama dan Sita (Sinta) tinggal di hutan dan kemudian Sita dilarikan oleh Rahwana.

4. Rama dan Sugriwa (raja kera), beserta Hanuman mengadakan perjanjian untuk membebaskan Sita.

5. Hanuman menjadi duta Rama menuju Alengka tempat Sita ditawan.

6. Perang besar antara pasukan kera dengan pasukan Alengka.

7. Kesangsian Rama akan kesucian Sita dan kembalinya Sita ke kahyangan.

Sebenarnya Ramayana telah berakhir pada buku keenam. Buku ketujuh yang disebut Uttarakandha dianggap sebagai buku yang ditambahkan belakangan.

Ramayana adalah kakawin pertama dalam kesusastraan India yang menjadi sumber ilham bagi sastrawan India maupun sastrawan di Asia Tenggara – khususnya Indonesia.

Ramayana dalam bentuk tembang di Jawa ditulis pada masa pemerintahan Raja Rakai Watukura Dyah Balitung (898 – 910 M). Kisah Ramayana dapat pula dijumpai dalam bentuk relief di Candi Prambanan pada abad IX dan Candi Penataran pada abad XIV.

Preface about Wayang



Wayang berakar kata dari bahasa Jawa ayang, ayang-ayang. Ayang berarti bayang atau bayangan. Dengan demikian wayang merupakan bayang-bayang. Wayang merupakan perwujudan dua atau tiga dimensi dari angan-angan dan sifat-sifat yang dimiliki manusia. Jadi wayang pada dasarnya adalah permainan bayang-bayang.

Kapan wayang pertama kali dibuat, belum dapat ditentukan persis. Yang jelas bangsa-bangsa di Asia dan di Mediterania telah berabad-abad lamanya mengenal wayang. Tentu saja bentuk, cara memainkan, dan sumber cerita yang diusung berlainan, tergantung dari latar belakang budaya masing-masing.

Wayang di Indonesia, khususnya di Jawa dan Bali, pada umumnya mengambil sumber cerita dari Ramayana dan Mahabharata. Ada pula sumber cerita lain yang berasal dari syiar agama Islam dan Kristen, atau dari kisah sejarah kerajaan-kerajaan di Jawa. Akan tetapi pertunjukan wayang yang bersumber dari syiar agama dan kisah sejarah kerajaan-kerajaan di Jawa kurang begitu popular dibanding dengan yang bersumber dari Ramayana dan Mahabharata.

Bahan yang digunakan untuk membuat wayang bermacam-macam. Namun biasanya bahan tersebut berasal dari bahan mudah dijumpai di lingkungan sekitar, misalnya:

1. Rumput. Di pedesaan, anak-anak gembala merangkai rumput menjadi wayang untuk mengisi waktu sambil menunggu hewan gembalaan.

2. Kulit. Karena sebagian besar masyarakat Jawa dan Bali hidup sebagai petani, maka mereka memerlukan sapi atau kerbau untuk membajak sawah. Dari sapi atau kerbau mereka mendapat kulitnya yang diolah sebagai bahan wayang kulit. Kenampakan wayang yang dibuat berupa individu-individu.

3. Kain. Gulungan kain digambari dengan satu atau dua adegan dari kisah wayang.

4. Kertas. Ada dua bentuk wayang kertas, yang pertama berupa gulungan kertas dan yang kedua berupa wujud individu dari tokoh wayang. Dalam bentuk gulungan kertas cara pembuatannya sama dengan wayang berbahan kain, yakni dengan menggambari kertas per adegan. Sedangkan dalam bentuk individu, kenampakannya sama seperti wayang kulit.

5. Kayu. Wayang dari kayu memiliki proporsi badan yang lebih mendekati realitas dibanding lainnya.

Jelas sudah, bahwa untuk menyampaikan amanat yang terkandung dalam Ramayana, Mahabharata, ataupun sumber lainnya, masyarakat Jawa dan Bali menggunakan bahan yang praktis, ringan, dan cukup tahan lama.

Adapun jenis-jenis wayang yang umum dikenal di Jawa dan Bali adalah:

1. Wayang Purwa. Wayang Purwa dikenal juga dengan sebutan Wayang Kulit. Penyebaran Wayang Purwa cukup luas, mencakup hampir seluruh Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, dan Bali. Pokok cerita bersumber dari agama Hindu, yaitu Ramayana dan Mahabharata. Fungsi Wayang Purwa erat kaitannya dalam upacara adat dan upacara keagamaan. Pergelaran wayang pada mulanya dimaksudkan untuk mengundang “bayang-bayang” nenek moyang. Seiring dengan waktu, pergelaran wayang berubah menjadi sekadar pertunjukan seni.

Dalam Wayang Purwa penempatan wayang diatur berdasarkan watak tiap tokoh. Mereka yang memiliki watak pengiwa atau jahat diletakkan di sebelah kiri dalang, dan mereka yang memiliki watak penengen atau baik ditempatkan di sebelah kanan dalang.

Menurut Brandes wayang kulit sudah dikenal sejak ±784 Masehi. Sedangkan dari G.A.J. Hazeu (1897) diperoleh informasi bahwa wayang kulit adalah asli ciptaan masyarakat Jawa, bukan tiruan dari India.

2. Wayang Beber. Bentuk Wayang Beber sangat khas, berupa gulungan kain atau gulungan kertas. Pokok cerita bersumber dari peristiwa zaman Kediri dan Majapahit. Dalang membuka gulungan dan bercerita berdasar gambar yang terdapat dalam gulungan.

3. Wayang Gedog. Jenis wayang yang berbahan kayu dan mirip wayang golek ini pernah popular di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pokok ceritanya bersumber dari masa sesudah Parikesit hingga munculnya Pajajaran. Bagian terbesar cerita adalah kisah Raden Panji Kudawanengpati.

4. Wayang Golek. Wayang dari kayu ini sangat popular di Jawa Barat dan perbatasan Jawa Barat – Jawa Tengah. Meski demikian dalam jumlah kecil bisa juga dijumpai di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pokok cerita yang disampaikan di samping Ramayana dan Mahabharata adalah lakon-lakon menak.

5. Wayang Klitik. Nama lainnya adalah Wayang Krucil. Konon wayang ini diciptakan oleh Sunan Kudus. Wayang Klitik berbahan dari kayu, namun pipih seperti wayang kulit. Pokok cerita wayang bersumber dari zaman Majapahit – khususnya Raja Brawijaya – dan kisah-kisah Raden Panji.

6. Wayang Keling. Jenis wayang kulit ini nyaris punah. Di Jawa hanya dijumpai di daerah Pekalongan. Cerita wayang ini dimulai dari silsilah Nabi Adam hingga Sunan Paku Buwono IV. Konon Wayang Keling dikenalkan pertama pada masa Perang Diponegoro oleh dalang Ki Gunawasesa. Nama Keling barangkali berasal dari nama suatu tempat di dekat Jepara (Keling) atau nama Kerajaan Kalingga, atau juga nama daerah di India Selatan.

7. Wayang Wahyu. Wayang jenis ini relatif baru dibanding jenis-jenis wayang lainnya. Wayang ini dibuat sebagai alat untuk memperkenalkan Injil kepada masyarakat Jawa. Maka isi ceritanya bersumber dari Injil.

8. Wayang Potehi. Wayang mirip Wayang Golek ini berasal dari kebudayaan China. Pokok ceritanya adalah kisah sejarah China, misalnya San Guo atau Samkok (Tiga Negara).

Di samping wayang berbahan kertas, kulit, dan kayu, cerita wayang disampaikan juga dalam bentuk seni drama dan tari. Ada dua jenis wayang semacam ini yaitu:

1. Wayang Wong. Dikenal pula dengan sebutan Wayang Orang. Tokoh-tokoh wayang diperankan oleh para penari. Pokok cerita yang disampaikan bersumber dari Ramayana dan Mahabharata. Di Jawa jumlah kelompok Wayang Wong kian menyusut. Pertunjukan Wayang Wong yang masih rutin ditampilkan hingga sekarang adalah Sendratari Ramayana di pelataran Candi Prambanan.

2. Wayang Topeng. Penari menggunakan topeng untuk memerankan tokoh wayang. Pokok cerita yang dibawakan umumnya adalah kisah Raden Panji. Selain di Jawa, pertunjukan penari dengan topeng ini dijumpai juga pada suku Daya di Kalimantan.

Nah, demikian sekelumit pengantar tentang wayang.