Senin, 22 Desember 2008

Dhritarastra


Dhritarastra (धृतराष) disebut juga Drestarastra, Drestarastra, Destarastra, Destarata. Ia anak sulung dari Vyasa melalui upacara putrotpadana. Kedua matanya buta karena pada waktu Vyasa menggunakan kekuatan batinnya untuk membuahi Ambika, perempuan itu memejamkan mata, melihat Vyasa yang menyala-nyala matanya.

Dhritarastra tidak memiliki pendirian yang teguh. Ia mudah sekali dipengaruhi oleh orang-orang terdekat. Ia terlalu penurut pada Dewi Gandari – isterinya, juga kepada adik Gandari – Arya Shakuni. Dalam pewayangan, Shakuni adalah tokoh licik dan senang mengadu domba demi keuntungan diri sendiri. Dari pernikahan dengan Dewi Gandari, Dhristarastra memiliki seratus anak yang disebut Kaurava atau Kurawa. Anak sulungnya bernama Duryodhana dan anak terakhirnya seorang perempuan bernama Dursilavati.

Sepeninggal Pandu, takhta Hastinapura dititipkan kepada Dhritarastra. Kendali pemerintahan dipegang olehnya dibantu Arya Shakuni. Sekian lama merasakan sebagai pemimpin Hastinapura, dalam hati Dhritarastra muncul keinginan untuk mewariskan takhta Hastinapura kepada anak-anaknya – bukan kepada Pandava. Keinginan itu gayung bersambut dengan pemikiran Arya Shakuni dan Dewi Gandari. Maka dicarilah jalan untuk melanggengkan kekuasaan, termasuk usaha membunuh Pandava. Meski berbagai usaha dilakukan, Pandava senantiasa dalam perlindungan para dewa. Semua niat jahat Dhritarastra dan Kaurava tidak sampai membinasakan Pandava.

Takhta Hastinapura diberikan kepada Duryodhana, anak sulung Dhritarastra. Wali negeri Hastinapura yang buta itu kemudian mengundurkan diri bersama dengan Yamawidura – adik beda ibu – dan Dewi Gandari. Selama Bharatayudha berlangsung, Dhritarastra dapat mengikuti seluruh jalannya peperangan dari penuturan Sanjaya. Sanjaya adalah anak Yamawidura yang menjadi kusir kereta Dhritarastra dan diberi kemampuan oleh dewa untuk melihat jalannya seluruh peperangan di padang Kurusetra, Bharatayudha.

Seusai Bharatayudha dan seluruh anaknya tewas, Dhritarastra tak kuasa menahan rasa dukanya yang mendalam. Karena putra kesayangannya - Duryodhana - tewas oleh Bhima, maka muncullah niat jahat Dhritarastra kepada Bhima. Meski buta, Dhritarastra memiliki kekuatan luar biasa. Jika ia memeluk seseorang dan mengeluarkan seluruh kekuatannya, maka remuklah orang tersebut. Begitupun ketika Pandava seusai Bharatayudha hendak menghadap kepadanya selaku sesepuh Hastinapura, Dhritarastra hendak memeluk Bhima. Niat jahat tersebut terbaca oleh Khrisna. Maka titisan Vishnu itu menarik Bhima dan menggantinya dengan patung yang menyerupai Bhima. Alhasil, Dhritarastra menghancurkan patung Bhima menjadi debu. Menyadari bahwa ia keliru, Dhritarastra akhirnya menyerahkan tampuk kekuasaan Hastinapura kepada Yudhistira dan memberkati seluruh Pandava. Dia bersama dengan Dewi Gandari, Kunti, Yamawidura, dan Sanjaya mengundurkan diri ke hutan untuk bertapa. Dhritarastra ingin menebus dosa-dosanya. Mereka berlima tinggal di dalam pondok di tengah hutan.

Pada musim kemarau yang panjang, api melalap hutan, termasuk pondok di tengah hutan dan isinya. Kelima sesepuh Hastinapura itu wafat. Dalam versi India, api tersebut bukan karena kemarau panjang, melainkan berasal dari tubuh Dhritarastra sendiri.

Pandu Devanata


Alkisah Bhisma Devabrata memenangkan sayembara di negara Kasi, mengalahkan dua raksasa Wahmuka dan Arimuka. Sebagai pemenang, Bhisma berhak memboyong tiga puteri: Dewi Amba, Ambika, dan Ambalika, untuk diperistri oleh raja Hastinapura – Vicitravirya.

Dewi Amba menolak karena dia merasa, bahwa Bhisma-lah yang berhak atas dirinya, bukan Citrasena. Namun karena Bhisma telah bersumpah untuk hidup selibat, maka keinginan Dewi Amba mustahil terpenuhi. Bhisma menggertak Dewi Amba dengan panah agar meninggalkannya. Namun tanpa disadari anak panah melesat dan menembus dada Dewi Amba. Sebelum perempuan itu menemui ajalnya, mengatakan supata, bahwa dia akan datang lagi menjemput Bhisma ketika terjadi Bharatayudha. Dewi Amba akan menitis dalam diri Srikandi atau Shikandi.

Sedangkan kedua puteri lainnya, Ambika dan Ambalika diperistri oleh Vicitravirya. Malang sebelum mereka memadu kasih, Citrasena wafat. Demi kelangsungan takhta Hastinapura, maka ibu suri – Setyawati – memohon kepada Vyasa agar memberi keturunan kepada Ambiki.

Vyasa semula adalah raja Hastinapura yang kemudian mengundurkan diri untuk bertapa. Vyasa yang seorang begawan bersedia memenuhi permintaan Setyawati, demi Hastinapura – bukan demi dirinya sendiri. Sebagai seorang pertapa, maka Vyasa tidak melakukan hubungan seksual. Vyasa menggunakan kekuatan batin untuk membuahi Ambiki.

Ambiki yang belum pernah mengalami malam pertama, merasa ngeri. Sehingga selama Vyasa menggunakan kekuatan batinnya, Ambiki memejamkan mata. Beberapa waktu kemudian Ambiki mengandung, namun bayi laki-laki yang dilahirkannya buta. Bayi itu diberi nama Dhritarastra.

Setyawati kurang puas dengan bayi tersebut. Maka kembali ia meminta agar Vyasa bersedia memberi keturunan – kali ini kepada Ambalika. Sama seperti Ambiki, Ambahini belum pernah mengalami malam pertama. Maka ketika bertemu dengan Vyasa, Ambahini menjadi pucat dan memalingkan muka. Ambahini mengandung dan melahirkan seorang bayi laki-laki. Bayi tersebut berwajah pucat dan kepalanya agak teleng. Karena berwajah pucat, bayi itu diberi nama Pandu (पाण्‍डु).

Meskipun Dhritarastra lebih tua, namun kepada Pandu-lah takhta Hastinapura diberikan. Kebutaan Dhritarastra itulah yang menjadi alasan mengapa ia tidak berhak atas Hastinapura.

Pandu – yang berwajah pucat – memiliki hampir semua keutamaan ksatria. Ia berjuang demi kebenaran. Pandu memiliki sifat arif dan bijaksana. Pandu Devanata menikahi Kunti dan Madri. Karena melakukan satu kesalahan, yaitu memanah rusa yang sedang berkasih-kasihan, Pandu dikutuk tidak akan memiliki anak. Rusa tersebut sebenarnya adalah penjelmaan seorang resi.

Agar kelangsungan keluarga Hastinapura terjamin, maka kemudian Kunti dan Madri memohon kepada dewa agar diberi keturunan. Dari rahim Kunti lahirlah Yudhistira, Bhima, dan Arjuna. Yudhistira adalah titisan Batara Dharma, Bhima titisan Batara Bayu, dan Arjuna titisa Batara Indra. Sedangkan dari rahim Madri lahirlah kembar Nakula dan Sadeva. Keduanya adalah titisan Batara Aswin. Kelima putra Pandu disebut Pandava.

Dalam versi Jawa, Pandu kemudian diadu domba oleh Shakuni - adik Dewi Gandari, istri Dhritarastra. Pandu bertempur melawan muridnya sendiri, raja raksasa dari Pringgadani - Prabu Tremboko. Tremboko tewas oleh panah Pandu, namun Pandu terluka oleh keris Kalanadah. Luka tersebut mengakibatkan kematiannya. Madri – sesuai dengan tradisi – ikut menceburkan diri ke dalam api yang menghanguskan jasad Pandu dalam upacara sati. Oleh para dewa kemudian Pandu dijadikan sebagai dewa pula.

Dalam versi India Pandu moksa, yakni lenyap dari dunia bersama seluruh raganya. Sedangkan jiwanya masuk ke dalam neraka sesuai perjanjian. Namun atas perjuangan Bhima, Pandu akhirnya jiwa Pandu masuk ke surga. Versi lainnya mengatakan, jiwa Pandu tetap berada di neraka asalkan seluruh anak-anaknya selamat.

Kunti, semestinya sebagai seorang istri, juga ikut membakar dirinya. Namun Kunti berpikir, bahwa harus ada yang mengasuh kelima putra Pandu. Maka ia tidak ikut membakar diri demi kelangsungan hidup keturunan Pandu.