Minggu, 01 Februari 2009

Bagong



Sama seperti Semar, tokoh Bagong tidak akan dijumpai dalam versi pewayangan India. Bahkan di Jawa pun, tokoh Bagong tidak akan ditemui dalam pewayangan gaya Surakarta yang asli. Hal ini dapat diketahui dari berbagai serat pedalangan gaya Surakarta yang menyebutkan, bahwa pengiring para ksatria pembela kebenaran adalah Semar, Nala Gareng, dan Petruk. Tidak disebut nama Bagong di dalamnya. Bagong ditemui dalam pewayangan gaya Yogyakarta. Namun karena perkembangan zaman, tokoh Bagong kini pun dimainkan juga dalam pewayangan gaya Surakarta. Di dalam pewayangan gaya Banyumas, Bagong disebut Bawor. Sedangkan di Sunda, Bagong disebut dengan nama Astrajingga, Carub, Cepot, Kacepot, atau Kacipot.

Siapakah Bagong? Menurut cerita, setelah Ismaya menyedot gunung dan turun ke marcapada, ia kebingungan karena tidak punya teman. Maka ia memohon kepada Sang Hyang Tunggal seorang teman. Oleh Sang Hyang Tunggal, Ismaya disuruh melihat apa yang ada di belakangnya. Di depan Sang Hyang Tunggal yang bercahaya benderang itu, Ismaya menoleh ke belakang. Ia hanya melihat bayang-bayang dirinya. Maka Ismaya berkata, bahwa ia hanya melihat bayang-bayang.

Sang Hyang Tunggal bertitah, bahwa bayang-bayang itulah yang akan menemani Semar selama mengembara di dunia. Sekejap itu juga bayang-bayang Ismaya menjadi timbul, bergerak, dan akhirnya menjadi sosok yang hampir mirip dengan dirinya. Berbadan bulat dan gemuk. Namun demikian ada juga bedanya. Jika Semar bermata sipit berair, Bagong bermata lebar. Hal ini terjadi karena pada waktu memperhatikan bayang-bayang dirinya sendiri, Semar melotot untuk memastikan ia tidak salah lihat. Kemudian mulut Bagong juga lebih menggantung (Jawa = ndomblé) karena ketika melihat bayang-bayang dirinya, Semar mencebikkan bibir bawahnya, menyangsikan ucapan Sang Hyang Tunggal.

Bayang-bayang Semar yang menjelma menjadi sosok manusia itu kemudian diberi nama Bagong, berasal dari kata mbokong (menoleh ke arah belakang/bokong). Oleh Semar, Bagong diaku sebagai anaknya. Jika demikian, dapat disimpulkan bahwa Bagong adalah “anak sulung” Semar di marcapada. Kedua anak Semar lainnya adalah Nala Gareng dan Petruk. Akan tetapi yang umum dikisahkan di pewayangan, Bagong adalah anak bungsu dan Nala Gareng sebagai yang sulung.

Bagong memiliki sifat jenaka, usil, kekanak-kanakan dalam arti polos-jujur-apa adanya, dan pandai menarik perhatian para ksatria yang dilayaninya. Di dalam lakon pewayangan carangan, Bagong pernah menjadi raja dengan nama Prabu Pacekol atau Patakol atau Jayapetakol. Dikisahkan Bagong merasa sedih dan berjalan tak tentu arah. Drupadi istri Yudhistira melihat kesedihan Bagong. Maka Drupadi menanyai sebab musabab kesedihan Bagong. Mendengar penuturan abdi Pandava itu, maka Drupadi lantas meminjamkan pusaka Yudhistira kepadanya. Bagong bersalin rupa dan mengambil nama diri Prabu Pacekol. Berbekal pusaka Jimat Kalimasada, Bagong meminjam takhta Drupada raja Pancala yang juga ayah Drupadi. Jika Drupada menolak, akan dibunuhnya. Terjadilah huru-hara. Prabu Pacekol akhirnya bisa dikalahkan oleh Nala Gareng dan Petruk, berubah wujud kembali menjadi Bagong.

Bagong mempunyai istri Dewi Baganawati, seorang anak raja gandarva - Prabu Balyan dari kerajaan Pucangsewu.

Semar



Tokoh Semar dan panakawan lain adalah khas wayang Nusantara – khususnya Jawa-Sunda, tidak akan dijumpai dalam wayang versi aslinya – India. Di mata orang Jawa, Semar adalah dewa yang menjelma menjadi manusia. Semar adalah manusia-dewa, dewa-manusia.

Berdasarkan Serat Paramayoga, Sang Hyang Tunggal mempunyai putra bernama Ismaya yang dilahirkan dari rahim Dewi Rakti. Oleh Hyang Tunggal, Ismaya diberi wewenang untuk menguasai Sunyaruri dan memperistri Dewi Senggani – anak dari Sang Hyang Ening. Adapun Sang Hyang Ening dan Sang Hyang Tunggal berasal dari sumber yang sama, Sang Hyang Wenang.

Dari perkawinannya dengan Dewi Senggani, Sang Hyang Ismaya memiliki sepuluh putra, yaitu Sang Hyang Wungkuhan (Bongkotan), Sang Hyang Siwah, Sang Hyang Wrehaspati, Sang Hyang Yamadipati, Sang Hyang Surya, Sang Hyang Candra, Sang Hyang Kuwera, Sang Hyang Temburu (Temboro), Sang Hyang Kamajaya, dan Dewi Sarmanasiti (Darmanastiti).

Menurut versi pedalangan lain, Sang Hyang Ismaya dilahirkan oleh Dewi Rekathawati, putri Prabu Rekathatama – raja jin di samudera kahyangan. Kemudian Ismaya diberi kuasa di Tejamaya dan menikah dengan Dewi Kanastri (Kanastren atau Sinduragen). Dari Dewi Kanastri Ismaya memiliki sepuluh anak, 9 laki-laki dan 1 perempuan.

Versi lain lagi menyebutkan, bahwa Semar berasal dari putih telur. Konon sebelum dunia dijadikan, Sang Hyang Tunggal mempunyai sebutir telur. Bagian kulit luar menjelma menjadi Tejamaya, putih telur menjelma menjadi Ismaya, dan kuning telur menjelma menjadi Manikmaya. Ketiga putra dewa yang sangat rupawan ini saling berebut perhatian dari Sang Hyang Wenang. Oleh karena itu mereka berusaha menunjukkan diri sebagai yang paling sakti mandraguna.

Maka diadakanlah sayembara untuk menjadi yang terhebat. Isi sayembara adalah siapa yang dapat menelan gunung, dialah yang paling sakti. Mereka mencari gunung terbesar di semesta. Sebagai yang sulung, Tejamaya mendapat giliran yang pertama. Tejamaya membuka mulutnya lebar-lebar agar bisa menelan gunung. Karena usahanya terlalu keras, sudut-sudut mulutnya robek dan gunung tidak tertelan jua. Mulut yang robek melebar dan tidak bisa utuh kembali itu membuat wajah Tejamaya yang tampan menjadi sirna. Menangislah Tejamaya.

Melihat kakaknya gagal, Ismaya menggunakan cara lain. Ia berusaha menyedot gunung sedikit demi sedikit. Usaha itu berhasil. Selama menyedot gunung, Ismaya mengeluarkan seluruh kesaktiannya. Ia mencoba menahan rasa sakit karena batu-batu gunung melewati kerongkongannya. Lambat laun Gunung raksasa telah berpindah ke dalam perutnya. Namun akibatnya wajah Ismaya yang tampan menjadi buruk, matanya rembes berair. Tidak hanya itu, perutnya juga membesar. Sama seperti Tejamaya, Ismaya menyesal dan menangis.

Rupanya tangis Tejamaya dan Ismaya terdengar oleh Sang Hyang Tunggal. Maka keduanya mendapat teguran keras. Sebagai hukuman, Tejamaya dan Ismaya disuruh turun ke marcapada atau dunia. Mereka harus menjadi abdi bagi kebenaran. Tejamaya yang juga disebut Tejamantri mengabdi kepada para raja atau ksatria yang tidak lurus hati menurut pandangan dunia batin Jawa. Tejamantri harus mengingatkan mereka untuk kembali kepada kebenaran. Ismaya mengabdi kepada para raja atau ksatria yang lurus hati seperti Pandava, misalnya.

Sedangkan Manikmaya yang tidak mendapat giliran menelan gunung diberi kepercayaan oleh Sang Hyang Wenang untuk memimpin para dewa di kahyangan. Manikmaya kemudian dikenal sebagai Batara Guru. Sementara Tejamaya setelah menjadi abdi, biasa disebut sebagai Togog.

Ismaya sendiri memiliki nama lain selain Semar, yaitu Badranaya, Janggan Asmarasanta, Sang Dyah Juru Puntaprasanta, Nayantaka, dan Duda Manangmunung. Tempat tinggalnya di marcapada disebut Padepokan Klampis Ireng atau Karang Kadempel atau Karang Kabulutan.

Oleh masyarakat Jawa Semar digambarkan memiliki sifat baik: cerdas, sabar, senantiasa memberi nasihat, suka bercanda. Namun sebaliknya Semar pada waktu marah, tak ada raja, ksatria, maupun dewa yang dapat mengalahkannya. Ia memiliki senjata berupa kentut.

Nama Semar sendiri mengandung arti “tidak dapat diungkapkan dengan jelas”, samar. Semar, samar, samar-samar. Bentuk tubuh Semar dalam wayang kulit terlihat sebagai laki-laki yang berpayudara besar, berperut buncit seperti perempuan mengandung, dan berpantat besar. Bagi masyarakat Jawa, Semar itu ora lanang ora wadon, bukan laki-laki bukan perempuan. Tidak jelas, samar-samar. Inilah keunikan Semar sebagai simbol dewa yang menjelma menjadi manusia.

Minggu, 04 Januari 2009

Shalya


Shalya (शल्‍य) atau Salya atau Salyapati putra Artayana, raja Madra. Dalam versi Jawa, Shalya pada masa muda bernama Narasoma. Shalya mempunyai adik perempuan bernama Madri – yang kelak menjadi ibu Nakula dan Sadeva. Ketika dewasa ia diminta oleh Artayana untuk menikah. Namun permintaan sang ayah tak dihiraukannya. Shalya pergi dari istana dan mengembara.

Dalam pengembaraan itu Shalya berjumpa dengan seorang brahmana raksasa bernama Bagaspati. Resi Bagaspati menceritakan, bahwa putrinya bermimpi jatuh cinta dan menikah dengan Shalya. Bagaspati bermaksud menjadikan Shalya sebagai menantunya. Lantaran mengira Pujawati – anak Resi Bagaspati – juga berwajah raksasa, maka Shalya menolak. Akibatnya terjadilah pertarungan antara Shalya dengan Resi Bagaspati.

Shalya tidak mampu menandingi kesaktian Bagaspati. Maka takluklah ia kepada resi raksasa itu. Setelah berjumpa dengan Pujawati, Shalya berubah pikiran melihat kecantikan anak Resi Bagaspati itu dan ia jatuh hati. Keduanya pun kemudian menikah. Meski demikian Shalya merasa tidak bangga karena memiliki mertua berwajah raksasa.

Perasaan Shalya ini disampaikan Pujawati kepada ayahnya. Resi Bagaspati kemudian menantang Pujawati agar memilih dirinya sebagai ayah atau Shalya sebagai suami. Sebuah pilihan yang tidak mudah. Namun demikian Pujawati akhirnya memilih Shalya. Hal ini membuat Bagaspati merasa bangga karena memiliki putri yang setia. Maka Bagaspati mengubah nama Pujawati menjadi Setyawati.

Resi Bagaspati juga merelakan dirinya dibunuh oleh Shalya agar tidak mengganggu pikirannya. Meski demikian tak satupun senjata Shalya yang dapat melukai tubuh Bagaspati. Demi melihat mertuanya tidak juga binasa, maka Shalya memohon agar Resi Bagaspati melepaskan seluruh ilmu kesaktiannya. Resi Bagaspati menyanggupi untuk melepaskan Rudrarohastra (dalam versi Jawa Ajian Candabhirawa) dan mewariskannya kepada Shalya.

Setelah ilmu kesaktian itu beralih wadah, dengan mudah Shalya membunuh sang resi dengan cara menusuk siku Resi Bagaspati. Shalya kemudian memboyong Setyawati ke Madra untuk diperkenalkan kepada ayahnya.

Raja Artayana gembira melihat anaknya membawa Setyawati. Akan tetapi kegembiraan itu tak berlangsung lama setelah mengetahui, bahwa Shalya membunuh Resi Bagaspati. Ternyata Artayana dengan Resi Bagaspati adalah dua sahabat karib. Karena membunuh sahabatnya, maka Shalya diusir oleh Artayana dari istana. Shalya bersama Setyawati pergi meninggalkan Madra. Madri yang belum hilang rasa rindunya, bergegas pergi menyusul kakaknya.

Dalam pengembaraan, Shalya tiba di kerajaan Mathura atau Mandura. Di tempat itu sedang diadakan sayembara dengan hadiah putri raja bernama Kunti. Shalya mengikuti sayembara itu dengan maksud untuk menguji Ajian Candabhirawa, bukan untuk meminang Kunti. Ia berhasil mengalahkan semua raja dan ksatria yang mengikuti sayembara, kecuali Pandu. Ajian Candabhirawa yang dimilikinya berhasil dipunahkan oleh Pandu. Sebagai tanda takluk Shalya menyerahkan adiknya, Madri, kepada Pandu.

Saat masih di dalam pengembaraan, Shalya mendengar berita kalau ayahnya wafat. Artayana begitu sedih karena kehilangan sahabatnya, juga karena merasa gagal menjadi ayah yang baik dan tidak bisa mendidik anak. Artayana kemudian mengakhiri hidupnya sendiri. Shalya kembali ke Madra dan menjadi raja menggantikan ayahnya.

Dari perkawinannya dengan Setyawati, Shalya memiliki lima orang anak, yaitu Erawati, Surtikanti, Banowati, Burisrawa, dan Rukmarata. Sedangkan menurut versi India, Shalya hanya memiliki dua anak yaitu Rukmarata dan Rukmanggada.

Salah satu sifat buruk Shalya adalah tinggi hati. Kesombongannya ditunjukkan dengan menerima lamaran Duryodhana atas Erawati. Ia merasa mendapat kehormatan karena menantunya adalah raja kerajaan terbesar di dunia. Tanpa pikir panjang lamaran itu diterima. Namun garis dewata berkata lain. Erawati hilang diculik oleh Kartapiyoga dari Girikadasar.

Atas bantuan Baladeva, Erawati berhasil diselamatkan. Menurut perjanjian seharusnya Erawati diserahkan kepada orang yang berhasil menyelamatkannya. Namun Shalya hendak mengingkari janji karena melihat Baladeva dalam sosok seorang pendeta. Baru setelah Shalya tahu kalau Baladeva adalah raja Mathura, Erawati diserahkannya.

Lamaran Duryodhana datang kedua kalinya. Kali ini Surtikanti yang hendak diberikannya. Akan tetapi Surtikanti diculik dan diperistri oleh Karna, adipati dari Awangga. Melihat bahwa yang menculik dan mengawini Surtikanti adalah Karna, Duryodhana merelakannya karena ia merasa berhutang budi kepada putra Batara Surya itu. Kelanjutannya, Duryodhana kemudian menikahi Banowati.

Menjelang pecahnya Bharatayudha, Shalya berniat berpihak kepada Pandava. Akan tetapi karena tipu muslihat Kaurava, terpaksa Shalya mengalihkan dukungannya kepada Kaurava. Meski demikian Shalya memberikan doa dan berkatnya untuk kemenangan Pandava. Hal ini tertulis dalam Udyogaparva.

Ketika pecah Bharatayudha, Shalya menjadi kusir bagi kereta perang Karna. Ia berhadap-hadapan dengan Arjuna yang naik kereta perang dengan Krishna sebagai kusirnya. Karena sebenarnya hatinya untuk Pandava, maka Shalya tidak sepenuh hati mengusiri kereta Karna. Dalam pertempuran itu Karna tewas oleh panah Arjuna.

Setelah Karna tewas, Shalya menjadi panglima perang pihak Kaurava pada hari berikutnya.

Di dalam perang Shalya menggunakan Ajian Candabhirawa. Tak satupun dari pasukan Pandava yang dapat bertahan. Ajian itu berupa raksasa bajang yang jika dilukai, darahnya akan menjelma menjadi raksasa bajang lainnya. Setiap percikan darah menjadi satu raksasa. Maka pasukan raksasa bajang itu kemudian menguasai medan Kurusetra.

Krishna menyuruh Nakula untuk menghadapi Shalya. Melihat yang datang menemuinya adalah keponakannya, Shalya tidak sampai hati dan ia tahu ini adalah muslihat Krishna. Raja kerajaan Madra itu kemudian memberi tahu, kalau orang yang dapat membunuhnya adalah seorang yang memiliki hati bersih, jujur, lurus – sebagai tandingan atas kesombongan dirinya.

Maka Krishna kemudian meminta Yudhistira untuk maju melawan Shalya. Putra sulung Pandu itupun maju ke pertempuran. Ajian Candabhirawa yang digunakan oleh Shalya tidak mampu mengalahkannya. Bahkan raksasa-raksasa bajang itu berbalik mengabdi kepada Yudhistira. Pada saat itu Yudhistira menggunakan pusaka Jamus Kalimasada untuk mengakhiri hidup Shalya. Dalam versi India, Shalya gugur karena panah yang dilepaskan oleh Yudhistira dengan perantaraan Arjuna. Setelah Shalya gugur, Setyawati dan Sugandika – abdinya – menyusul ke Kurusetra dan ikut bunuh diri. Hal ini dipaparkan dalam bagian Salyaparva.

Madri


Madri (माद्री) atau Madrim adalah putri Artayana (dalam versi Jawa disebut Prabu Artadriya atau Mandrapati atau Mandradipa) raja kerajaan Madra atau Madras (dalam versi Jawa disebut Mandaraka). Madri mempunyai seorang kakak bernama Shalya – yang kelak menggantikan Artayana menjadi raja di Madra.

Tidak banyak hal diungkap dari sosok Madri. Ketika Madri dinikahi oleh Pandu dan mengandung, ia meminta supaya Pandu meminjam Lembu Andini kepada Batara Guru. Madri ingin menunggangi Lembu Andini bersama Pandu. Permohonan Madri melalui Pandu dikabulkan oleh Batara Guru dengan satu syarat, jika Madri mati rohnya dimasukkan ke dalam kawah Candradimuka.

Sesudah melahirkan Nakula dan Sadeva, Madri membakar diri bersama dengan jenazah Pandu. Sedangkan Nakula dan Sadeva diasuh oleh Kunti hingga berakhirnya Bharatayudha.

Kunti


Kunti (कुंती) dilahirkan sebagai putri Surasena dari wangsa Yadu. Pada waktu lahir, Kunti diberi nama Pritha. Kemudian Pritha diadopsi oleh Prabu Kuntibhoja dari kerajaan Mathura atau dalam versi Jawa Prabu Kuntiboja dari Mandura. Sebelum menikah dengan Pandu, Kunti pernah mengandung. Kejadian ini bermula ketika Kunti mengucapkan mantera sebuah ajian yang dalam versi Jawa disebut Kunta Wekas Ing Tunggal Tanpa Lawanan. Ketika ia membaca mantera ajian tersebut, kalimatnya mengundang perhatian Batara Surya – dewa matahari. Surya seketika jatuh cinta kepada Kunti dan keluarlah kama yang menyebabkan Kunti mengandung. Sedangkan dalam versi aslinya, Kunti mendapatkan mantera tersebut dari seorang resi bernama Durvasa atau Druvasa. Keampuhan mantera tersebut adalah dapat mengundang dewa dan mendapatkan keturunan dari dewa tersebut. Karena Kunti tidak percaya kepada kata-kata Resi Druvasa, maka ia merapal mantera itu. Kejadian selanjutnya adalah datangnya Batara Surya yang memberi keturunan kepadanya.

Karena tidak ingin melahirkan sebelum menikah, maka Kunti memohon kepada dewata agar proses kelahiran bayi dalam kandungan tidak melalui jalan semestinya. Permohonan tersebut dikabulkan dan bayi dilahirkan melalui telinga Kunti. Bayi diberi nama Basukarna atau yang berarti telinga. Namun karena ia juga keturunan Batara Surya, maka dinamakan juga Suryaputra atau Suryatmaja. Bayi yang telah dilahirkan Kunti kemudian dihanyutkan ke sungai Yamuna (ada juga yang menyebut sungai Aswa) dan ditemukan oleh Adirata. Adirata adalah kusir kepercayaan Dhritarastra. Sejak saat itu Karna diangkat menjadi anak Adirata.

Kunti kemudian diperistri oleh Pandu. Dari rahim Kunti lahirlah Yudhistira, Bhima, dan Arjuna yang masing-masing adalah titisan Batara Dharma, Batara Bayu, dan Batara Indra. Kunti begitu mengasihi ketiga putranya dan juga kedua putra Madri, yaitu Nakula dan Sadeva yang merupakan titisan Batara Aswin. Ia mengasuh kelima putra Pandu agar menjadi ksatria yang berbudi luhur.

Kesetiaan dan kecintaan Kunti kepada kelima putra Pandu dibuktikan dengan keikutsertaannya mengembara selama 12 tahun di hutan. Kunti tabah menerima setiap cobaan dan hinaan dari Kaurava selama masa pengasingan dan pengembaraan tersebut. Kunti mendampingi Pandava hingga Bharatayudha berakhir. Ia wafat bersama Dhritarastra, Gandari, Yamawidura, dan Sanjaya dalam kebakaran yang menghanguskan pondok pertapaan dan hutan.

Kunti dalam pewayangan menjadi lambang kesetiaan seorang ibu kepada suami dan anak-anaknya. Ia tidak ikut membakar diri bersama jenazah Pandu, seperti Madri, melainkan kesetiaan kepada Pandu ditunjukkannya dengan menjalankan dharma sebagai ibu untuk membesarkan dan mengasuh anak-anaknya. Sifatnya yang pengasih dan penyayang, tabah menanggung derita-sengsara, dijadikan model ibu yang baik bagi para perempuan di India maupun tanah Jawa.

Vidura


Vidura (विदुर) atau dalam versi Jawa disebut Yamawidura dilahirkan dari seorang abdi Hastinapura melalui upacara Putrotpadana oleh Vyasa. Dalam versi Jawa abdi istana itu bernama Datri. Hal ini terjadi karena Ambika – ibu Dhritarastra – dan Ambalika – ibu Pandu – menolak untuk bertemu Vyasa. Maka keduanya menyuruh seorang abdi Hastinapura menggantikan posisi mereka.

Sebagai seorang resi begawan, tentu Vyasa mengetahui rencana Ambika dan Ambalika. Namun demikian Vyasa tetap menjalankan tugasnya, sesuai permintaan Setyawati – ibu Vicitravirya, raja Hastinapura. Dari upacara Putrotpadana tersebut lahirlah Yamawidura.

Secara fisik Vidura memiliki kaki yang timpang atau pincang. Akan tetapi ia memiliki pikiran yang jujur, cerdas dan jernih. Vidura juga sangat menguasai ilmu tatanegara. Oleh karena itu Vidura diangkat menjadi jaksa di Hastinapura. Sepeninggal Pandu, takhta Hastinapura dititipkan kepada Dhritarastra. Di dalam menjalankan roda pemerintahan Dhritarastra banyak mengandalkan kebijaksanaan Vidura. Tentu hal ini berlaku sebelum Dhritarastra menyerahkan takhta Hastinapura kepada Kaurava.

Vidura begitu mencintai kedua kakaknya – Dhritarastra dan Pandu, juga kepada putra-putra mereka – para Kaurava dan Pandava. Ia senantiasa berusaha mengarahkan Kaurava ke arah hidup yang benar. Akan tetapi Kaurava lebih mendengarkan ucapan kakak iparnya – Gandari – dan Shakuni – adik Gandari. Bagi Vidura, lebih mudah menasihati Pandava daripada Kaurava.

Dalam versi Jawa, Vidura menikah dengan Padmarini. Istrinya adalah anak Dipacandra, adipati Pagombakan yang merupakan negara bawahan Hastinapura. Vidura kemudian menggantikan Dipacandra sebagai pemimpin di Pagombakan. Dari perkawinannya dengan Padmarini, Vidura mempunyai keturunan yang dinamakan Sanjaya. Akan tetapi dalam versi asli, tak ada hubungan keluarga antara Vidura dengan Sanjaya.

Vidura pernah menyelamatkan Pandava dan Kunti dalam kejadian Bale Sigala-gala. Ketika Pandava dan Kunti dijebak dalam sebuah pondok yang kemudian dibakar oleh Kaurava. Vidura telah menyiapkan lorong bawah tanah sebagai tempat pengungsian Pandava dan Kunti.

Ketika pecah Bharatayudha, Vidura meskipun tinggal di Hastinapura, tidak berpihak kepada Kaurava. Ia juga tidak berpihak kepada Pandava. Hal ini dilakukannya demi keadilan. Jauh-jauh hari sebelum perang antardarah Bharata terjadi, ia telah mengingatkan Duryodhana terus-menerus agar menyerahkan takhta Hastinapura kepada Pandava. Bagaimanapun juga Pandava sebagai putra-putra Pandu-lah yang berhak atas Hastinapura. Akan tetapi seluruh nasihat Vidura tak dihiraukan oleh Duryodhana dan tampaknya memang sudah kehendak para dewa, bahwa Bharatayudha harus terjadi.

Setalah Bharatayudha berakhir, bersama dengan Dhritarastra, Gandari, Kunti, dan Sanjaya, Vidura menyucikan diri dengan bertapa di hutan. Sampai suatu hari dari tubuh Dhritarastra muncul api penyucian yang membakar pondok dan seluruh isinya. Demikianlah akhir hidup Vidura.