Minggu, 26 Juni 2011

Togog



Togog, semula bernama Batara Antaga, salah satu dari tiga cucu Sanghyang Wenang. Dua cucu lainnya adalah Batara Ismaya yang nantinya menjadi Semar dan Batara Manikmaya yang nantinya menjadi Batara Guru. Karena mereka beradu kesaktian maka terjadilah hal yang mengubah wujud Batara Antaga dan Batara Ismaya.

Kejadiannya bermula dari keinginan untuk menunjukkan siapa di antara mereka bertiga yang paling unggul. Maka diadakanlah sayembara untuk menelan Gunung Jamurdipa. Sebagai yang sulung, Batara Antaga mendapat giliran pertama. Dia berusaha menelan Gunung Jamurdipa bulat-bulat yang mengakibatkan robek pada mulutnya. Matanya juga menjadi melotot karena dia mengeluarkan seluruh tenaganya untuk menelan Gunung Jamurdipa.

Apa daya, gunung tetap tegak berdiri. Batara Antaga menyesal karena wajahnya yang semula rupawan, kini menjadi buruk rupa. Oleh Sanghyang Wenang dia diperintahkan turun ke marcapada untuk menjadi panakawan para raja seberang lautan, yaitu mereka yang memiliki watak jahat dan angkara murka. Jadi Togog tidak hanya mengabdi pada satu orang, melainkan berganti-ganti. Bila direnungkan lebih jauh, tugas Togog adalah mulia karena dia berusaha mengingatkan para raja itu untuk kembali kepada keutamaan sebagai manusia. Hanya sayang sekali peringatan yang diberikannya sering tidak diindahkan.
Togog memiliki nama lain yaitu Tejamantri atau Wijamantri.

Sabtu, 25 Juni 2011

Petruk




Di dalam pewayangan Indonesia, khususnya Jawa, Petruk mempunyai nama lain, yaitu Tongtongsot, Suragendila, Surajenggala, Dubla Jaya, Jengglong Jaya, Penthung Pinanggul, Ronggangjiwan, Kantongbolong, Kyai Supatra, Kebo Debleng, dan Prabu Belgeduwel Beh (ada juga yang menyebut Welgeduwel Beh). Sedangkan dalam pewayangan Sunda, Petruk dikenal sebagai Dawala atau Udel.

Menurut pewayangan Jawa, Petruk semula bernama Bambang Penyukilan, anak dari Begawan Rajaswala atau disebut juga Begawan Selantara di Padepokan Kembangsore. Bambang Penyukilan memiliki wajah tampan dan tubuh sempurna. Bagaimana dia kemudian menjadi Petruk yang berhidung panjang, kurus berperut buncit, berlengan dan berkaki panjang, adalah karena disabda oleh Batara Ismaya (baca kisahnya dalam entri Gareng).

Petruk memiliki sifat periang, senang bernyanyi, lucu, dan setia kepada tuannya. Dia adalah pengasuh Abimanyu, putra Arjuna. Tokoh Petruk sering muncul dalam lakon carangan misalnya dalam "Petruk Dadi Ratu", dia tampil sebagai Prabu Belgeduwel Beh, penguasa negeri Lojitengara. Sebagai Prabu Belgeduwel Beh, Petruk memorakporandakan banyak negeri terutama Amartapura. Dia juga berhasil mencuri pusaka Yudhistira, yaitu Jamus Kalimasada.

Sebagai Prabu Belgeduwel Beh, Petruk berhasil mengalahkan Prabu Pandu Pragolamanik dari negeri Trancanggribig atau Parang Gumiwang yang tak lain adalah Gareng. Lantas Prabu Belgeduwel Beh sendiri berhasil dikalahkan oleh Bagong. Prabu Belgeduwel Beh kembali ke bentuk semula sebagai Petruk.

Petruk mempunyai istri bernama Dewi Ambarawati atau Dewi Wrantawati, putri Prabu Ambaraja di negeri Pandansurat. Petruk memiliki Dewi Ambarawati setelah memenangkan sayembara pinangan mengalahkan pelamar lainnya. Dewi Ambarawati diboyong ke Girisarangan dan yang bertindak sebagai wali perkawinan mereka adalah Resi Parikenan. Dari perkawinannya dengan Dewi Ambarawati, Petruk mempunyai seorang anak yaitu Lengkung Kusuma.

Bentuk tubuh Petruk yang serba panjang melambangkan kehidupan yang serba "momot-kamot ing kawruh" atau mampu menerima segala pengetahuan dengan baik. Nama Kantongbolong yang diberikan kepadanya bermakna keikhlasan, siap menerima pengetahuan yang baik dan selalu siap untuk membagikannya kepada orang lain.

Gareng


Bentuk hidung membulat, mata juling, lengan bengkok, kaki pincang, perut buncit. Demikianlah penampilan Gareng atau Nala Gareng. Sama seperti tokoh Panakawan lainnya, Gareng hanya dijumpai dalam khazanah pewayangan Indonesia. Kisah Mahabharata versi India tidak memuat perihal Gareng. Hal ini menunjukkan tingginya daya kreativitas para seniman wayang Indonesia, khususnya Jawa, untuk membumikan kisah dari negeri seberang. Di dalam berbagai kisah, Gareng disebut sebagai anak Semar. Akan tetapi siapakah Gareng sebenarnya?

Adalah sebuah padepokan yang bernama Padepokan Bluluktiba. Pemilik padepokan adalah Resi Sukskadi, seorang brahmana. Resi Sukskadi memiliki seorang anak bernama Bambang Sukskati. Putra tunggal Resi Sukskadi ini memiliki paras wajah yang cukup menawan dan tubuh yang sentosa. Suatu ketika Bambang Sukskati memohon ijin ayahnya untuk pergi bertapa di bukit Candala.

Selesai bertapa, Bambang Sukskati berpamitan pada ayahnya untuk pergi mengembara. Merasa telah memiliki ilmu kesaktian tanpa tanding, Bambang Sukskati menaklukkan banyak ksatria dan raja-raja. Karena Bambang Sukskati memang berilmu tinggi, maka dengan mudah dia mengalahkan semua lawan-lawannya. Kemenangan demi kemenangan membuat dia membusungkan dada, menyombongkan dirinya.

Di dalam perjalanan dia berjumpa dengan Bambang Penyukilan, anak seorang pendeta gandarwa bernama Begawan Selantara yang memiliki padepokan di Kembangsore. Sama seperti Bambang Sukskati, Bambang Penyukilan juga memiliki sifat congkak karena berilmu tinggi.

Perjumpaan keduanya menimbulkan sengketa karena masing-masing merasa sebagai orang paling sakti. Mereka bergelut selama lima hari lima malam dan masing-masing belum menunjukkan tanda-tanda untuk menyerah. Kesaktian keduanya setara. Akibat perkelahian mereka, terjadi kerusakan di banyak tempat di bumi.

Perkelahian antara Bambang Sukskati dan Bambang Penyukilan mengundang perhatian Batara Ismaya. Keduanya dinasihati oleh Batara Ismaya untuk menghentikan perkelahian karena perkelahian mengakibatkan kebencian dan dendam, yang merupakan kejelekan hidup yang harus dihindari. Sayang sekali baik Bambang Sukskati maupun Bambang Penyukilan tidak menggubris nasihat Batara Ismaya. Keduanya ingin melanjutkan perkelahian hingga diketahui siapa yang paling unggul di antara mereka.

Melihat sikap keduanya Batara Ismaya bersabda, bahwa kesombongan, kecongkakan adalah suatu kejelekan. Selesai bersabda demikian, tubuh Bambang Sukskati dan Bambang Penyukilan berubah. Wajah mereka yang semula tampan, menjadi buruk rupa. Keduanya mengakui kesalahan dan mengakui bahwa ilmu kesaktian mereka belum sebanding dengan kesaktian Batara Ismaya. Oleh Batara Ismaya, Bambang Sukskati diberi nama Nala Gareng, sedangkan Bambang Penyukilan diberi nama Petruk. Pada saat itu juga datanglah Resi Sukskadi dan Begawan Selantara. Mereka memohonkan ampun atas kesalahan anak-anak mereka. Mereka sepakat untuk menyerahkan anak mereka kepada Batara Ismaya. Akhirnya kedua anak itu diangkat sebagai anak oleh Batara Ismaya atau Semar.

Nala Gareng memiliki nama sebutan lain, yaitu Cakrawangsa, Pegatwaja, Pancalpamor, Pandu Pragolamanik, Pandu Bergola, dan Bambang Jati Pitutur. Nama Pancalpamor bermakna menolak gemerlapnya duniawi. Pegatwaja bermakna menghindari makanan yang tidak pantas untuk dimakan. Nala Gareng sendiri bermakna "hati yang kering" artinya hati yang telah mampu melepaskan segala keinginan duniawi. Nala, hati; Gareng, garing.

Gareng di dalam lakon carangan tampil sebagai seorang raja bernama Pandu Pragolamanik atau Pandu Bergola. Dia menguasai sebuah kerajaan bernama Parang Gumiwang. Sebagai Pandu Pragolamanik, Gareng mengalahkan semua raja-raja dan bermaksud menguasai Amartapura. Tentu saja dia harus berhadapan dengan Pandawa. Gareng berhasil mengalahkan kelima Pandawa dengan mudah.

Munculnya Prabu Pandu Pragolamanik atau Pandu Bergola ini membuat suasana gempar di marcapada. Di lain pihak Semar, Petruk, dan Bagong kebingungan karena Gareng pergi tanpa pamit. Keberadaan Gareng tidak diketahui. Beruntung Pandawa mempunyai seorang penasihat utama, Sri Batara Krishna. Krishna menyarankan kepada Semar, bila ingin bertemu dengan Gareng, dia harus merelakan Petruk melawan Prabu Pandu Pragolamanik. Mendengar saran Krishna, Semar cepat tanggap dan paham benar apa yang dimaksud oleh penasihat Pandawa itu. Sebaliknya Petruk menjadi gamang karena dia telah mendengar kesaktian Prabu Pandu Pragolamanik.

Melihat Petruk gamang, Semar membisikkan sesuatu ke telinga Petruk. Akhirnya Petruk menyanggupi untuk berhadapan dengan Prabu Pandu Pragolamanik. Pada waktu Petruk bertemu dengan Prabu Pandu Pragolamanik, penguasa Parang Gumiwang ini selalu menghindari tatapan mata Petruk, entah dengan cara membelakangi, entah dengan menundukkan kepala. Keduanya terlibat perkelahian seru, hingga akhirnya Prabu Pandu Pragolamanik berubah wujud kembali menjadi Gareng.

Tujuan Gareng menjadi raja dan menyerang Amartapura adalah untuk mengingatkan para Pandawa agar tidak melalaikan dharma mereka sebagai ksatria dan raja dalam menyejahterakan rakyat, menjaga keamanan negara dan bangsa. Jangan karena negara telah mencapai kemakmuran, lantas melalaikan kewajiban menjaga keamanan negara dan bangsa.

Gareng memiliki sifat periang, suka bercanda, dan setia kepada tuannya. Dia memiliki seorang isteri bernama Dewi Sariwati, putri Prabu Surawasesa dan Dewi Saradewati dari negeri Selarengka.

Mata Gareng yang juling melambangkan telah lenyapnya keinginan untuk memiliki kepunyaan orang lain, lengan yang bengkok melambangkan lenyapnya keinginan untuk mengambil hak orang lain, dan kaki yang pincang melambangkan kehati-hatian di dalam mengambil tindakan.