Sama seperti Semar, tokoh Bagong tidak akan dijumpai dalam versi pewayangan India. Bahkan di Jawa pun, tokoh Bagong tidak akan ditemui dalam pewayangan gaya Surakarta yang asli. Hal ini dapat diketahui dari berbagai serat pedalangan gaya Surakarta yang menyebutkan, bahwa pengiring para ksatria pembela kebenaran adalah Semar, Nala Gareng, dan Petruk. Tidak disebut nama Bagong di dalamnya. Bagong ditemui dalam pewayangan gaya Yogyakarta. Namun karena perkembangan zaman, tokoh Bagong kini pun dimainkan juga dalam pewayangan gaya Surakarta. Di dalam pewayangan gaya Banyumas, Bagong disebut Bawor. Sedangkan di Sunda, Bagong disebut dengan nama Astrajingga, Carub, Cepot, Kacepot, atau Kacipot.
Siapakah Bagong? Menurut cerita, setelah Ismaya menyedot gunung dan turun ke marcapada, ia kebingungan karena tidak punya teman. Maka ia memohon kepada Sang Hyang Tunggal seorang teman. Oleh Sang Hyang Tunggal, Ismaya disuruh melihat apa yang ada di belakangnya. Di depan Sang Hyang Tunggal yang bercahaya benderang itu, Ismaya menoleh ke belakang. Ia hanya melihat bayang-bayang dirinya. Maka Ismaya berkata, bahwa ia hanya melihat bayang-bayang.
Sang Hyang Tunggal bertitah, bahwa bayang-bayang itulah yang akan menemani Semar selama mengembara di dunia. Sekejap itu juga bayang-bayang Ismaya menjadi timbul, bergerak, dan akhirnya menjadi sosok yang hampir mirip dengan dirinya. Berbadan bulat dan gemuk. Namun demikian ada juga bedanya. Jika Semar bermata sipit berair, Bagong bermata lebar. Hal ini terjadi karena pada waktu memperhatikan bayang-bayang dirinya sendiri, Semar melotot untuk memastikan ia tidak salah lihat. Kemudian mulut Bagong juga lebih menggantung (Jawa = ndomblé) karena ketika melihat bayang-bayang dirinya, Semar mencebikkan bibir bawahnya, menyangsikan ucapan Sang Hyang Tunggal.
Bayang-bayang Semar yang menjelma menjadi sosok manusia itu kemudian diberi nama Bagong, berasal dari kata mbokong (menoleh ke arah belakang/bokong). Oleh Semar, Bagong diaku sebagai anaknya. Jika demikian, dapat disimpulkan bahwa Bagong adalah “anak sulung” Semar di marcapada. Kedua anak Semar lainnya adalah Nala Gareng dan Petruk. Akan tetapi yang umum dikisahkan di pewayangan, Bagong adalah anak bungsu dan Nala Gareng sebagai yang sulung.
Bagong memiliki sifat jenaka, usil, kekanak-kanakan dalam arti polos-jujur-apa adanya, dan pandai menarik perhatian para ksatria yang dilayaninya. Di dalam lakon pewayangan carangan, Bagong pernah menjadi raja dengan nama Prabu Pacekol atau Patakol atau Jayapetakol. Dikisahkan Bagong merasa sedih dan berjalan tak tentu arah. Drupadi istri Yudhistira melihat kesedihan Bagong. Maka Drupadi menanyai sebab musabab kesedihan Bagong. Mendengar penuturan abdi Pandava itu, maka Drupadi lantas meminjamkan pusaka Yudhistira kepadanya. Bagong bersalin rupa dan mengambil nama diri Prabu Pacekol. Berbekal pusaka Jimat Kalimasada, Bagong meminjam takhta Drupada raja Pancala yang juga ayah Drupadi. Jika Drupada menolak, akan dibunuhnya. Terjadilah huru-hara. Prabu Pacekol akhirnya bisa dikalahkan oleh Nala Gareng dan Petruk, berubah wujud kembali menjadi Bagong.
Bagong mempunyai istri Dewi Baganawati, seorang anak raja gandarva - Prabu Balyan dari kerajaan Pucangsewu.