Tokoh Semar dan panakawan lain adalah khas wayang Nusantara – khususnya Jawa-Sunda, tidak akan dijumpai dalam wayang versi aslinya – India. Di mata orang Jawa, Semar adalah dewa yang menjelma menjadi manusia. Semar adalah manusia-dewa, dewa-manusia.
Berdasarkan Serat Paramayoga, Sang Hyang Tunggal mempunyai putra bernama Ismaya yang dilahirkan dari rahim Dewi Rakti. Oleh Hyang Tunggal, Ismaya diberi wewenang untuk menguasai Sunyaruri dan memperistri Dewi Senggani – anak dari Sang Hyang Ening. Adapun Sang Hyang Ening dan Sang Hyang Tunggal berasal dari sumber yang sama, Sang Hyang Wenang.
Dari perkawinannya dengan Dewi Senggani, Sang Hyang Ismaya memiliki sepuluh putra, yaitu Sang Hyang Wungkuhan (Bongkotan), Sang Hyang Siwah, Sang Hyang Wrehaspati, Sang Hyang Yamadipati, Sang Hyang Surya, Sang Hyang Candra, Sang Hyang Kuwera, Sang Hyang Temburu (Temboro), Sang Hyang Kamajaya, dan Dewi Sarmanasiti (Darmanastiti).
Menurut versi pedalangan lain, Sang Hyang Ismaya dilahirkan oleh Dewi Rekathawati, putri Prabu Rekathatama – raja jin di samudera kahyangan. Kemudian Ismaya diberi kuasa di Tejamaya dan menikah dengan Dewi Kanastri (Kanastren atau Sinduragen). Dari Dewi Kanastri Ismaya memiliki sepuluh anak, 9 laki-laki dan 1 perempuan.
Versi lain lagi menyebutkan, bahwa Semar berasal dari putih telur. Konon sebelum dunia dijadikan, Sang Hyang Tunggal mempunyai sebutir telur. Bagian kulit luar menjelma menjadi Tejamaya, putih telur menjelma menjadi Ismaya, dan kuning telur menjelma menjadi Manikmaya. Ketiga putra dewa yang sangat rupawan ini saling berebut perhatian dari Sang Hyang Wenang. Oleh karena itu mereka berusaha menunjukkan diri sebagai yang paling sakti mandraguna.
Maka diadakanlah sayembara untuk menjadi yang terhebat. Isi sayembara adalah siapa yang dapat menelan gunung, dialah yang paling sakti. Mereka mencari gunung terbesar di semesta. Sebagai yang sulung, Tejamaya mendapat giliran yang pertama. Tejamaya membuka mulutnya lebar-lebar agar bisa menelan gunung. Karena usahanya terlalu keras, sudut-sudut mulutnya robek dan gunung tidak tertelan jua. Mulut yang robek melebar dan tidak bisa utuh kembali itu membuat wajah Tejamaya yang tampan menjadi sirna. Menangislah Tejamaya.
Melihat kakaknya gagal, Ismaya menggunakan cara lain. Ia berusaha menyedot gunung sedikit demi sedikit. Usaha itu berhasil. Selama menyedot gunung, Ismaya mengeluarkan seluruh kesaktiannya. Ia mencoba menahan rasa sakit karena batu-batu gunung melewati kerongkongannya. Lambat laun Gunung raksasa telah berpindah ke dalam perutnya. Namun akibatnya wajah Ismaya yang tampan menjadi buruk, matanya rembes berair. Tidak hanya itu, perutnya juga membesar. Sama seperti Tejamaya, Ismaya menyesal dan menangis.
Rupanya tangis Tejamaya dan Ismaya terdengar oleh Sang Hyang Tunggal. Maka keduanya mendapat teguran keras. Sebagai hukuman, Tejamaya dan Ismaya disuruh turun ke marcapada atau dunia. Mereka harus menjadi abdi bagi kebenaran. Tejamaya yang juga disebut Tejamantri mengabdi kepada para raja atau ksatria yang tidak lurus hati menurut pandangan dunia batin Jawa. Tejamantri harus mengingatkan mereka untuk kembali kepada kebenaran. Ismaya mengabdi kepada para raja atau ksatria yang lurus hati seperti Pandava, misalnya.
Sedangkan Manikmaya yang tidak mendapat giliran menelan gunung diberi kepercayaan oleh Sang Hyang Wenang untuk memimpin para dewa di kahyangan. Manikmaya kemudian dikenal sebagai Batara Guru. Sementara Tejamaya setelah menjadi abdi, biasa disebut sebagai Togog.
Ismaya sendiri memiliki nama lain selain Semar, yaitu Badranaya, Janggan Asmarasanta, Sang Dyah Juru Puntaprasanta, Nayantaka, dan Duda Manangmunung. Tempat tinggalnya di marcapada disebut Padepokan Klampis Ireng atau Karang Kadempel atau Karang Kabulutan.
Oleh masyarakat Jawa Semar digambarkan memiliki sifat baik: cerdas, sabar, senantiasa memberi nasihat, suka bercanda. Namun sebaliknya Semar pada waktu marah, tak ada raja, ksatria, maupun dewa yang dapat mengalahkannya. Ia memiliki senjata berupa kentut.
Nama Semar sendiri mengandung arti “tidak dapat diungkapkan dengan jelas”, samar. Semar, samar, samar-samar. Bentuk tubuh Semar dalam wayang kulit terlihat sebagai laki-laki yang berpayudara besar, berperut buncit seperti perempuan mengandung, dan berpantat besar. Bagi masyarakat Jawa, Semar itu ora lanang ora wadon, bukan laki-laki bukan perempuan. Tidak jelas, samar-samar. Inilah keunikan Semar sebagai simbol dewa yang menjelma menjadi manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar