Minggu, 01 Februari 2009

Bagong



Sama seperti Semar, tokoh Bagong tidak akan dijumpai dalam versi pewayangan India. Bahkan di Jawa pun, tokoh Bagong tidak akan ditemui dalam pewayangan gaya Surakarta yang asli. Hal ini dapat diketahui dari berbagai serat pedalangan gaya Surakarta yang menyebutkan, bahwa pengiring para ksatria pembela kebenaran adalah Semar, Nala Gareng, dan Petruk. Tidak disebut nama Bagong di dalamnya. Bagong ditemui dalam pewayangan gaya Yogyakarta. Namun karena perkembangan zaman, tokoh Bagong kini pun dimainkan juga dalam pewayangan gaya Surakarta. Di dalam pewayangan gaya Banyumas, Bagong disebut Bawor. Sedangkan di Sunda, Bagong disebut dengan nama Astrajingga, Carub, Cepot, Kacepot, atau Kacipot.

Siapakah Bagong? Menurut cerita, setelah Ismaya menyedot gunung dan turun ke marcapada, ia kebingungan karena tidak punya teman. Maka ia memohon kepada Sang Hyang Tunggal seorang teman. Oleh Sang Hyang Tunggal, Ismaya disuruh melihat apa yang ada di belakangnya. Di depan Sang Hyang Tunggal yang bercahaya benderang itu, Ismaya menoleh ke belakang. Ia hanya melihat bayang-bayang dirinya. Maka Ismaya berkata, bahwa ia hanya melihat bayang-bayang.

Sang Hyang Tunggal bertitah, bahwa bayang-bayang itulah yang akan menemani Semar selama mengembara di dunia. Sekejap itu juga bayang-bayang Ismaya menjadi timbul, bergerak, dan akhirnya menjadi sosok yang hampir mirip dengan dirinya. Berbadan bulat dan gemuk. Namun demikian ada juga bedanya. Jika Semar bermata sipit berair, Bagong bermata lebar. Hal ini terjadi karena pada waktu memperhatikan bayang-bayang dirinya sendiri, Semar melotot untuk memastikan ia tidak salah lihat. Kemudian mulut Bagong juga lebih menggantung (Jawa = ndomblé) karena ketika melihat bayang-bayang dirinya, Semar mencebikkan bibir bawahnya, menyangsikan ucapan Sang Hyang Tunggal.

Bayang-bayang Semar yang menjelma menjadi sosok manusia itu kemudian diberi nama Bagong, berasal dari kata mbokong (menoleh ke arah belakang/bokong). Oleh Semar, Bagong diaku sebagai anaknya. Jika demikian, dapat disimpulkan bahwa Bagong adalah “anak sulung” Semar di marcapada. Kedua anak Semar lainnya adalah Nala Gareng dan Petruk. Akan tetapi yang umum dikisahkan di pewayangan, Bagong adalah anak bungsu dan Nala Gareng sebagai yang sulung.

Bagong memiliki sifat jenaka, usil, kekanak-kanakan dalam arti polos-jujur-apa adanya, dan pandai menarik perhatian para ksatria yang dilayaninya. Di dalam lakon pewayangan carangan, Bagong pernah menjadi raja dengan nama Prabu Pacekol atau Patakol atau Jayapetakol. Dikisahkan Bagong merasa sedih dan berjalan tak tentu arah. Drupadi istri Yudhistira melihat kesedihan Bagong. Maka Drupadi menanyai sebab musabab kesedihan Bagong. Mendengar penuturan abdi Pandava itu, maka Drupadi lantas meminjamkan pusaka Yudhistira kepadanya. Bagong bersalin rupa dan mengambil nama diri Prabu Pacekol. Berbekal pusaka Jimat Kalimasada, Bagong meminjam takhta Drupada raja Pancala yang juga ayah Drupadi. Jika Drupada menolak, akan dibunuhnya. Terjadilah huru-hara. Prabu Pacekol akhirnya bisa dikalahkan oleh Nala Gareng dan Petruk, berubah wujud kembali menjadi Bagong.

Bagong mempunyai istri Dewi Baganawati, seorang anak raja gandarva - Prabu Balyan dari kerajaan Pucangsewu.

Semar



Tokoh Semar dan panakawan lain adalah khas wayang Nusantara – khususnya Jawa-Sunda, tidak akan dijumpai dalam wayang versi aslinya – India. Di mata orang Jawa, Semar adalah dewa yang menjelma menjadi manusia. Semar adalah manusia-dewa, dewa-manusia.

Berdasarkan Serat Paramayoga, Sang Hyang Tunggal mempunyai putra bernama Ismaya yang dilahirkan dari rahim Dewi Rakti. Oleh Hyang Tunggal, Ismaya diberi wewenang untuk menguasai Sunyaruri dan memperistri Dewi Senggani – anak dari Sang Hyang Ening. Adapun Sang Hyang Ening dan Sang Hyang Tunggal berasal dari sumber yang sama, Sang Hyang Wenang.

Dari perkawinannya dengan Dewi Senggani, Sang Hyang Ismaya memiliki sepuluh putra, yaitu Sang Hyang Wungkuhan (Bongkotan), Sang Hyang Siwah, Sang Hyang Wrehaspati, Sang Hyang Yamadipati, Sang Hyang Surya, Sang Hyang Candra, Sang Hyang Kuwera, Sang Hyang Temburu (Temboro), Sang Hyang Kamajaya, dan Dewi Sarmanasiti (Darmanastiti).

Menurut versi pedalangan lain, Sang Hyang Ismaya dilahirkan oleh Dewi Rekathawati, putri Prabu Rekathatama – raja jin di samudera kahyangan. Kemudian Ismaya diberi kuasa di Tejamaya dan menikah dengan Dewi Kanastri (Kanastren atau Sinduragen). Dari Dewi Kanastri Ismaya memiliki sepuluh anak, 9 laki-laki dan 1 perempuan.

Versi lain lagi menyebutkan, bahwa Semar berasal dari putih telur. Konon sebelum dunia dijadikan, Sang Hyang Tunggal mempunyai sebutir telur. Bagian kulit luar menjelma menjadi Tejamaya, putih telur menjelma menjadi Ismaya, dan kuning telur menjelma menjadi Manikmaya. Ketiga putra dewa yang sangat rupawan ini saling berebut perhatian dari Sang Hyang Wenang. Oleh karena itu mereka berusaha menunjukkan diri sebagai yang paling sakti mandraguna.

Maka diadakanlah sayembara untuk menjadi yang terhebat. Isi sayembara adalah siapa yang dapat menelan gunung, dialah yang paling sakti. Mereka mencari gunung terbesar di semesta. Sebagai yang sulung, Tejamaya mendapat giliran yang pertama. Tejamaya membuka mulutnya lebar-lebar agar bisa menelan gunung. Karena usahanya terlalu keras, sudut-sudut mulutnya robek dan gunung tidak tertelan jua. Mulut yang robek melebar dan tidak bisa utuh kembali itu membuat wajah Tejamaya yang tampan menjadi sirna. Menangislah Tejamaya.

Melihat kakaknya gagal, Ismaya menggunakan cara lain. Ia berusaha menyedot gunung sedikit demi sedikit. Usaha itu berhasil. Selama menyedot gunung, Ismaya mengeluarkan seluruh kesaktiannya. Ia mencoba menahan rasa sakit karena batu-batu gunung melewati kerongkongannya. Lambat laun Gunung raksasa telah berpindah ke dalam perutnya. Namun akibatnya wajah Ismaya yang tampan menjadi buruk, matanya rembes berair. Tidak hanya itu, perutnya juga membesar. Sama seperti Tejamaya, Ismaya menyesal dan menangis.

Rupanya tangis Tejamaya dan Ismaya terdengar oleh Sang Hyang Tunggal. Maka keduanya mendapat teguran keras. Sebagai hukuman, Tejamaya dan Ismaya disuruh turun ke marcapada atau dunia. Mereka harus menjadi abdi bagi kebenaran. Tejamaya yang juga disebut Tejamantri mengabdi kepada para raja atau ksatria yang tidak lurus hati menurut pandangan dunia batin Jawa. Tejamantri harus mengingatkan mereka untuk kembali kepada kebenaran. Ismaya mengabdi kepada para raja atau ksatria yang lurus hati seperti Pandava, misalnya.

Sedangkan Manikmaya yang tidak mendapat giliran menelan gunung diberi kepercayaan oleh Sang Hyang Wenang untuk memimpin para dewa di kahyangan. Manikmaya kemudian dikenal sebagai Batara Guru. Sementara Tejamaya setelah menjadi abdi, biasa disebut sebagai Togog.

Ismaya sendiri memiliki nama lain selain Semar, yaitu Badranaya, Janggan Asmarasanta, Sang Dyah Juru Puntaprasanta, Nayantaka, dan Duda Manangmunung. Tempat tinggalnya di marcapada disebut Padepokan Klampis Ireng atau Karang Kadempel atau Karang Kabulutan.

Oleh masyarakat Jawa Semar digambarkan memiliki sifat baik: cerdas, sabar, senantiasa memberi nasihat, suka bercanda. Namun sebaliknya Semar pada waktu marah, tak ada raja, ksatria, maupun dewa yang dapat mengalahkannya. Ia memiliki senjata berupa kentut.

Nama Semar sendiri mengandung arti “tidak dapat diungkapkan dengan jelas”, samar. Semar, samar, samar-samar. Bentuk tubuh Semar dalam wayang kulit terlihat sebagai laki-laki yang berpayudara besar, berperut buncit seperti perempuan mengandung, dan berpantat besar. Bagi masyarakat Jawa, Semar itu ora lanang ora wadon, bukan laki-laki bukan perempuan. Tidak jelas, samar-samar. Inilah keunikan Semar sebagai simbol dewa yang menjelma menjadi manusia.